KISAHABDUL AZIZ AD-DABAGH DIDATANGI MALAIKAT Ada seorang sufi dari kalangan tokoh tasawuf yang bernama Abdul Aziz Ad-dabagh. Beliau dalam kalangan tokoh tasawuf termasuk ulama kelas atas, wali min
sebagianmeditator atau ahli sufi menggunakan pendekatan falsafah ini dalam mencari tuhan, iaitu tahap mengenal diri dari segi wilayah-wilayah alam pada dirinya, misalnya mengenali hatinya dan suasananya, fikiran, perasaannya, dan lain-lain sehingga dia boleh membezakan dari mana ilham itu muncul, apakah dari fikirannya, dari perasaannya, atau
Tentang Safar dan Uns Jalan ruhani adalah suatu kata kias yang biasa disebutkan oleh para penempuh jalan spiritual. Kata kias itu bisa mengarah ke atas seolah-olah Tuhan ada di atas, biasanya yang berparadigma ini menulis “Naik Tangga Spiritual”, ada juga yang menyebut “jalan yang lurus”. Akan tetapi, pada umumnya para Sufi meyakini bahwa Allah ada di dalam diri kita, adanya Allah di dalam diri ini tidak dimaksudkan seperti pada konsep ruang dan waktu yang berasumsi bahwa perjalanan adalah berangkat dari satu titik stasiun ke titik stasiun yang lain. Dekatnya Allah dengan diri kita tidak seperti dekatnya jarak ruang dan waktu. Allah adalah berbeda dengan mahluk-Nya, Allah terbebas dari dimensi ruang dan waktu. Safar Safar atau perjalanan spiritual siyahah ruhaniah adalah perjalanan rekreatif yang bersifat spiritual. Menurut Syaikh Muhyi ad din Ibn Arabi bahwa safar adalah ber-tawajuhnya hati kepada al Haqq dengan dzikir. Safar dimulai ketika ketika hati berpaling kepada Allah dengan mengingat-Nya dzikir. Safar arti sinonimnya adalah sayr wa suluk. Salik Salik adalah seorang pelancong, jamaknya salikun atau sang penempuh spiritual. Tentang Uns Uns arti harafiahnya adalah kedekatan, keakraban, atau sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa sepi. Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh pada satu titik centrum yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, dan tidak ada yang diharap kecuali Allah. Walaupun situasi atau keadaan uns itu mirip atau hampir sama dengan fana, tetapi kaum Sufi tidak menyebutnya fana, tetapi al Mahwu, yaitu sekedar pemusatan seluruh ekspresi secara utuh kepada satu arah. Kesenangan dan kegembiraan hati hamba karena tersingkap baginya kedekatan qurb, keindahan dan kesempurnaan Allah SWT. Uns merupakan keadaan spiritual ketika hati dipenuhi cinta dan keindahan, kelembutan, belas kasih serta pengampunan Allah. Contohnya, keindahan uns tidak dapat dilukiskan, seperti yang dialami oleh pendengar dalam konser spiritual sama’ yang menyebabkannya mengalami kemabukan wajd ketika menemukan Allah. Uns merupakan wasilah untuk memperoleh Qurb, jadi bukan qurb itu sendiri, sebab ia merupakan kesucian kalbu dari selain Allah SWT. Bagaimana pendapat pakarnya? Situasi Al Uns ini mirip dengan al Fana, menurut Dzun An-Nun, sekiranya orang memperoleh keadaan uns, kiranya dia dilemparkan ke neraka dia tidak akan merasakannya. Menurut Al Junaid, apabila seseorang telah mencapai jiwa al Uns, andaikan tubuhnya ia ditusuk dengan pedang ia tidak akan merasakannya. Demikian sekilas mengenai uns, selanjutnya mari kita masuk kepada pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut perjalanan spiritual dengan harapan kita tahu kapan kita akan memulainya dan kemana kita akan menuju. Insya Allah.. 1. Apakah yang dimaksud perjalanan spiritual syair wa suluk? Pencapaian seseorang dalam memahami esensi Allah dalam dirinya. 2. Dimana perjalanan spiritual dilakukan? Di hati, di fisik, di pikiran? Jawabannya di hati. Pokok dari ajaran tarekat tasawuf adalah untuk men “ suci “ kan hati. Syarat penyucian hati yang per-tama adalah Taubat secara Lahir dan Batin. Taubat lahir berkaitan dengan Perkataan, perbuatan, perasaan, menghindarkan diri dari dosa dan memperbanyak kebaikan. Taubat batin berkaitan erat dengan rohani, mengembalikan sikap rohani kita kepada tahap kesucian-nya yang semula, yaitu bersih tanpa noda dan tanpa dosa. Keterkaitan antara rohani dengan jasad dan dunia akan melahirkan tenaga, baik yang positif maupun negatif. Tenaga negatif itu munculnya dari nafsu. Nafsu yang asalnya bersifat baik, kini sudah dikuasai oleh sifat-sifat buruk. Nafsu yang pada asalnya menghadap kepada Tuhan kini telah berpaling menghadap kepada yang bukan Tuhan. Dasar dari taubat batin adalah membawa nafsu kembali keasalnya semula, yaitu mengarah kepada Tuhan. Rantai yang menyeret nafsu kearah yang salah harus segera diputuskan. Tiga daerah nafsu yang perlu diketahui adalah Ammarah, Lawwamah dan Mulhamah. Rantai yang mengikat nafsu didalam daerah nafsu ammarah ini adalah nafsu yang paling kasar dan paling kuat. Pengikat nafsu di daerah ini adalah sifat-sifat yang tidak terpuji seperti Sombong, Ujub, Riya dan Sama’ah. Sifat-sifat tersebut membuat manusia merasa dirinya lebih baik, lebih mulia dan lebih cerdik dari pada orang lain. Suka menunjuk-nunjuk dirinya sendiri, suka dipuji-puji dan suka nama-nya menjadi terkenal. Di daerah ini tidak ada nilai-nilai murni kemanusiaan dan tidak ada peraturan. Orang yang berada di-daerah ini sangat tamak akan harta. Tidak peduli dari mana sumber harta itu diperolehnya. Nafsu yang berada di-daerah ammarah ini suka dengki, dendam, khianat dan berangan-angan. Nafs Mulhalmah, dia menghadap kepada Tuhan dengan merendahkan diri dan berhajat kepada-Nya. Sifat merendah-kan diri yang sudah lahir dalam hati-nya akan membuat-nya tidak lagi suka meng-kritik orang lain secara sembarangan. Dia lebih memandang orang lain dengan pandangan simpati, bukan mengutuk. Zikir-nya sudah masuk ke-dalam lubuk hati-nya yang paling dalam yang akan menguat-kan rasa ke-tergantungan-nya semata-mata hanya kepada Allah SWT saja. Apabila keikhlasan ahli mulhamah ini sudah semakin bertambah kuat maka dia akan melakukan kebaikan bukan lagi karena takut akan Allah’ akan tetapi semata-mata ha-nyakarena Allah’ atau karena ingin mendapat-kan keridloan-Nya. Orang yang sudah berada pada tahap ini akan terus-me-nerus mentaati semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-nya, sekali-pun Tuhan tidak menjadikan Surga dan Neraka. Keyakinan-nya hanya kepada Allah SWT semata-mata. Keyakinan-nya kepada Allah SWT sudah sangat mendalam, sebab itu dia sangat kuat melakukan tajrid, yaitu menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah SWT saja, tidak kepada yang lain. Dia telah berada pada tahap yang di-ridlo-i oleh Allah SWT. 89. 27. “Wahai jiwa yang tenang”. 89. 28. “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” Selain mengajar-kan perjalanan kerohanian melalui daerah-daerah nafsu, tarekat tasawuf juga mengajar-kan perkembangan kesadaran rohani melalui berbagai-bagai peringkat kebatinan. Suasana kebatinan itu dinamakan Latifah Rabbaniah, yaitu unsur ghaib yang merupa-kan urusan Tuhan yang tidak mampu difikir-kan oleh manusia. Latifah Rabbaniah yang tergolong sebagai Diri Batin adalah 1 Latifah Kalbu, 2 Latifah Roh, 3 Latifah Sir, 4 Latifah Khafi, 5 Latifah Akhfa, 6 Latifah Nafsu Natiqah dan 7 Latifah Kullu Jasad. Latifah Kalbu ada-lah hati nurani. Ia menjadi raja yang memerintah sekalian anggota dan tubuh ma-nusia. Ia menjadi induk bagi semua latifah yang lain. Kalbu atau hati itu-lah yang menjadi perhatian Allah SWT. Jika baik hati-nya akan baiklah seluruh anggota badan, dalam jiwa yang sehat terdapat badan yang kuat, bukan sebalik-nya. Kesungguhan beribadat dan berzikir akan membebas-kan Latifah Kalbu dari hijab alam perasaan yang menutupi-nya. Bila Latifah Kalbu telah bebas dari tutup alam perasaan ia akan menghadap kepada alam ghaib dan menerima ilham yang bebas dari bisikan syaitan. Kesadaran kebatinan pada tahap Latifah Kalbu membuat hati merasa-kan jalinan yang erat dan unik dengan Kenabian Adam atau dapat juga dikatakan bahwa hati mengalami suasana Hakikat Adamiyah. Perjalanan Nabi Adam menjadi pedoman untuk bertaubat dan membersihkan hati dari segala dosa dan kekotoran. Keasyikan dalam suasana latifah ini sering membuat mata-hati kita mampu untuk menyaksikan cahaya dan warna di-alam ghaib. Keasyikan dalam Latifah Kalbu akan mem-bawa seseorang me-nyaksi-kan cahaya berwarna kuning yang gemerlapan. Cahaya latifah yang disaksikannya bukanlah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukanlah Tuhan., karena-nya kita harus memperbanyak ucapan “La ilaha illa Llah ”. Latifah Kalbu adalah seumpama ruang yang besar, dimana di dalamnya terdapat berbagai-bagai latifah lagi. Tahap kesadaran latifah yang lebih mendalam di-nama-kan Latifah Roh, atau dikenali sebagai Roh Hewani. Latifah Roh atau Roh Hewani itu di-hijab-kan oleh sifat-sifat keji yang disebut sebagai sifat binatang jinak. Sifat ini akan menyeret manusia ke-jalan yang hanya me-muas-kan nafsu syahwat seperti hewan, tanpa meng-hirau-kan akibat dan dosa. Sifat binatang jinak ini-lah yang membuat manusia berani melakukan kesalahan walau-pun orang lain yang telah membuat kesalahan yang sama telah menerima akibat-nya. Orang lain yang telah mati karena penyakit aids tidak menakut-kan binatang jinak untuk terus berbuat maksiat. Orang lain yang sudah di-hukum gantung sampai mati karena menjual narkoba tidak menakut-kan binatang jinak untuk terus menjual narkoba. Memang sifat binatang tidak mengenal dosa dan tidak takut kepada penyakit. Tenaga ibadat dan zikir yang masuk ke-daerah Latifah Roh akan menghancurkan sifat binatang jinak itu. Bila sifat tersebut telah hancur , maka akan muncul-lah sifat Latifah Roh yang asli, yaitu gemar beribadat, kuat ber-tawakal dan ridlo / rela dengan takdir Tuhan. Kesadaran pada tahap ini Latifah Roh akan membuat seseorang banyak melakukan ibadat dan berzikir tanpa merasa penat dan jemu. Di-daerah ini akan muncul hubungan kerohanian antara Kenabian Ibrahim dengan Nabi Nuh Pertemuan’ dengan Hakikat Ibrahimiyah dan Nuhiyah akan menguat-kan kesanggupan seseorang untuk berjuang dan berkorban demi mendapat-kan ke-ridlo’an Allah SWT. Keasyikan dalam daerah Latifah Roh ini akan membawa mata hati kita untuk dapat menyaksikan cahaya yang berwarna merah yang gilang gemilang. Cahaya latifah ini juga bukan-lah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan dengan memperbanyak ucapan “La ilaha illa Llah ”. Setelah melewati daerah Latifah Roh seseorang akan mengalami pula suasana ke-rohani-an di-daerah Latifah Sir atau di-nama-kan Roh Insani. Latifah Sir atau Roh Insani ini dihijab oleh sifat buruk yang di-nama-kan sifat binatang buas. Sifat tersebut mendorong manusia untuk saling bermusuhan, melakukan kezaliman, saling mendendam dan saling membenci. Kesadaran kebatinan pada tahap Latifah Sir inilah yang sering membuat hati gila akan Allah hingga ke-tahap tidak-rasional. Dalam daerah ini juga terjalin hubungan kerohanian dengan Kenabian Musa Hakikat Musawiyah membawa-nya merasakan kedekatan dengan Allah dan me-rasai nikmat Cinta Ilahi. Ke-asyik-an dalam daerah ini membawa mata hati menyaksikan cahaya berwarna putih yang gemerlapan. Cahaya latifah ini juga bukan-lah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, karena-nya mesti dinafikan dengan ucapan “La ilaha illa Llah ” sebanyak mungkin. Seterus-nya hati akan mengalami suasana Latifah Khafi. Latifah ini dihijab-kan oleh sifat syaitaniah yang menerbit-kan perasaan dengki, khianat dan busuk hati. Apabila tenaga ibadat dan zikir yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh dapat meng-hancur-kan sifat syaitaniah, maka akan muncul sifat latifah yang asli iaitu sabar, syukur, ridlo dan tawakal yang sebenar-nya. Kesadaran pada tahap Latifah Khafi ini, akan membuat seseorang mengalami hubungan kerohanian dengan Kenabian Isa atau Hakikat Isaiyah. Kesadaran di-daerah ini akan menambah kekuatan rohani untuk menghampiri Allah pada tahap ini akan selalu muncul perkara yang luar biasa seperti kemampuan untuk mengobati penyakit dan mempunyai firasat yang tajam, walau-pun bidang-bidang tersebut tidak pernah dipelajarinya. Keasyikan dalam Latifah Khafi membawa seseorang mampu untuk me-nyaksi-kan cahaya hitam yang tidak terhingga. Cahaya ini juga bukan-lah cahaya Tuhan dan se-kali-kali bukan Tuhan. Ia mesti dinafi-kan dengan memperbanyak ucapan “La ilaha illa Llah ”. Kesadaran kebatinan seterus-nya di-nama-kan Latifah Akhfa yang dihijab oleh sifat Rabbaniah ketuhanan yang tidak layak dipakai oleh makhluk. Sifat tersebut melahir-kan rasa sombong, ujub dan ria. Apabila tenaga ibadat dan zikir mampui untuk mem-bebas-kan Latifah Akhfa dari sifat Rabbaniah maka akan muncul sifat kebaikan seperti ikhlas dan tawaduk yang sebenar-nya. Kesadaran dalam daerah ini membuat seseorang gemar bertafakur. Dalam kesadaran latifah ini juga lahir hubungan kerohanian yang erat dengan Kenabian Muhammad atau Hakikat Muha-mmadiah. Orang yang bersangkutan akan mengalami rasa kasih, keasyikan dan kerinduan yang amat sangat terhadap Rasulullah SAW. Ucapan salawat merupa-kan ucapan yang sangat merdu dan meng-asyik-kan. Keasyikan terhadap Rasulullah dalam daerah Latifah Akhfa ini juga membuat seseorang akan mengalami suasana pertemuan’ dengan rohani Rasulullah seperti dalam mimpi. Hakikat Muhammadiah membawa seseorang memasuki suasana Cinta Allah SWT yang lebih halus, lebih ber-seni, lebih nikmat serta memperoleh muraqabah atau berhadapan dengan Allah SWT semata-mata, tidak kepada selain-Nya. Keasyikan pada latifah ini juga membawa seseorang untuk dapat menyaksi-kan cahaya hijau yang gilang gemilang. Cahaya ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan dengan ucapan “La ilaha illa Llah ”. Latifah seterus-nya dinamakan Latifah Nafsu Natiqah. Latifah ini juga dikenal sebagai diri yang boleh berfikir. Nafsu Natiqah dihijab oleh sifat ammarah yang banyak mem-bentuk khayalan dan melahir-kan penyakit panjang angan-angan. Dalam daerah inilah gambar-gambar yang disukai oleh nafsu syahwat ditayang-kan. Keinginan kepada ke-senangan dan ke-seronok-an dunia berpuncak di-daerah ini. Apabila tenaga ibadat dan zikir sanggup meng-hapus-kan sifat ammarah, akan muncul-lah suasana hati yang ten-teram dan fikiran yang tenang. Keasyikan dalam kesadaran Nafsu Natiqah ini akan membawa seseorang menyaksikan cahaya yang berwarna ungu yang gilang gemilang. Cahaya ini juga bukan cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan, perlu dinafikan sebanyak mungkin dengan ucapan “ La ilaha illa Llah ”. Latifah yang terakhir di-kenal sebagai Latifah Kullu Jasad yang meliputi seluruh tubuh. Latifah ini dihijab oleh sifat jahil dan lalai. Apabila hijab tersebut mampu dihapuskan oleh tenaga ibadat dan zikir akan muncul-lah sifat berilmu dan beramal. Tena-ga zikir yang berjalan lancar dalam daerah ini dapat dirasakan mengalir ke-seluruh tubuh, dari ujung rambut sampai ke-ujung kaki, menyerap ke-segenap rongga dalam tubuh badan, bercampur dengan darah, daging, tulang, sumsum dan seluruh maujud. Suasana yang demikian bisa di-kata-kan bahwa seluruh tubuh berzikir. Keasyikan dalam latifah ini membawa seseorang menyaksi-kan cahaya yang gilang gemilang tidak dapat dibayang-kan dan ditentukan warna-nya. Cahaya ini, seperti juga cahaya-cahaya yang lain, bukan-lah cahaya Tuhan dan sekali-kali bukan Tuhan dan perlu di-nafikan dengan ucapan “ La ilaha illa Llah ”. Tujuan tarekat tasawuf adalah membawa hati keluar dari kegelapan dan masuk kedalam cahaya yang terang benderang. Dalam dunia ini benda-benda nyata bisa di-saksi-kan karena ada-nya cahaya terang seperti matahari, bulan dan lampu. Perkara dunia yang abstrak dapat di-saksi-kan melalui cahaya akal. Alam ghaib dapat pula di-saksi-kan melalui cahaya latifah. Walau-pun cahaya latifah muncul seben-tar saja dalam pandangan mata hati namun ia cukup memadai untuk me-nerangi perjalanan menuju stasiun kerohanian berikutnya. Apabila seseorang mencapai baqa semua cahaya tidak mempunyai warna, maka tidak ada penyak-sian terhadap cahaya, tetapi hati masih dapat merasakan suasana yang terang benderang menerangi perjalanan-nya, sehingga dia tidak merasa keliru atau ragu-ragu. Cahaya-cahaya alam kerohanian memandu seseorang untuk sampai ke-Hadrat Ilahi. Suasana Hadrat Ilahi adalah makam ihsan, yaitu merasai kehadiran Tuhan dalam segala keadaan dan pada setiap saat. Orang yang sampai kepada pengalaman yang demikian itu, akan mengerti maksud firman Allah SWT Allah jualah Cahaya bagi langit dan bumi. Ayat 35 Surah an-Nur Nur Allah SWT adalah Hadirat-Nya atau kehadiran-Nya yang dapat dirasakan oleh hati yang terkait-erat dengan roh-nya yang asli. Nur Allah SWT bukan-lah cahaya yang bo-leh di-fikir-kan, di-gambar-kan atau di-khayal-kan. Maksud melihat Nur Allah SWT ada-lah merasakan ke-hadiran-Nya. Apa-pun warna cahaya yang di-saksi-kan di-dalam alam ghaib adalah cahaya yang Dia gubah sebagai alat untuk menarik hamba-hamba-Nya agar dapat terus berjalan sehingga sampai kepada alamat yang dituju. Alamat yang terakhir hanya dapat di-temui dan di-capai melalui obor-cahaya kebenaran yang sejati. Dan demikian-lah Kami wahyu-kan kepada engkau satu Roh dari urusan Kami. Padahal tidak-lah engkau tahu apa itu Kitab dan apa itu iman. Tetapi Kami jadikan ia nur yang Kami beri petunjuk dengan ia barangsiapa yang kami kehendaki daripada hamba-hamba Kami. Dan sesungguh-nya engkau akan memimpin kepada jalan yang lurus. Yaitu jalan Allah, yang kepunyaan-Nya apa yang ada di-semua langit dan apa yang ada di- bumi. Ketahui-lah! Kepada Allah akan sampai segala urusan. Ayat 52 & 53 Surah asy-Syura Wahyu adalah cahaya kebenaran yang sejati, dijadikan nur yang memberi petunjuk yang dengan-nya segala urusan sampai kepada Allah SWT. 3. Bagaimana caranya perjalanan spiritual itu dilakukan? Jawaban Versi Pertama Oleh Idries Shahh, “Mahkota Sufi, Menembus Dunia Ekstra Dimensi” Tujuh Diri Nafsu Pengembangan diri di Jalan Sufi mensyaratkan Salik untuk melampaui tujuh tahap persiapan, sebelum individualitas siap menunaikan tugasnya secara utuh. Tahap-tahap itu yang kadangkala disebut “manusia”, adalah tingkatan dalam transmutasi kesadaran, istilah teknis untuk nafs, jiwa. Pendek kata, tahap-tahap perkembangan itu, masing-masing memungkinkan kekayaan batin lebih lanjut di bawah bimbingan seorang guru praktis, adalah 1. Nafs al-ammarah nafsu merusak, menguasai diri 2. Nafs al-lawwamah nafsu tercela 3. Nafs al-mulhimah jiwa yang rakus 4. Nafs al-muthmainnah jiwa yang tenang 5. Nafs ar-radiyah jiwa yang tulus 6. Nafs al-mardiyah jiwa yang terbebaskan 7. Nafs ash-shafiyah wa kamilah jiwa yang suci dan sempurna. Nafs disyaratkan melalui proses yang diistilahkan “kematian dan kelahiran kembali”. Proses pertama, yaitu Mati Putih menandai tingkat perkembangan awal murid, ketika ia mulai membangun kembali nafs spontan dan emosional, sehingga hal ini selanjutnya akan menyediakan suatu sarana untuk menjalankan kegiatan kesadaran, yaitu nafs kedua. Sifat-sifat jiwa “tenang, terbebaskan”, dan sebagainya, mengacu pada dampak terhadap individumaupun kelompok dan masyarakat secara umum, dan berbagai fungsi yang sangat jelas pada setiap tahap. Fenomena penting dari tujuh tahap dalam latihan-latihan Sufi itu adalah sebagai berikut 1. Lepas kendali diri, mempercayai diri sebagai personalitas koheren, mulai belajar bahwa ia mempunyai berbagai kemampuan personal, sebagai individu yang berkembang. 2. Permulaan kesadaran diri dan “penentuan”, dimana pemikiran secara spontan melihat apa itu kesadaran diri. 3. Permulaan integrasi mental, ketika jiwa mempunyai kemampuan memasuki tahap yang lebih tinggi dibandingkan kebiasaan sebelumnya. 4. Kedamaian, keseimbangan individualitas. 5. Kemampuan melakukan tugas, tahap pengalaman baru yang tidak bisa dideskripsikan di luar analogi yang sejalan. 6. Aktivitas dan tugas baru, termasuk di luar dimensi individualitas. 7. Pemenuhan tugas rekonstitusi, kemampuan mengajar orang lain, daya bagi pemahaman obyektif Unsur-unsur Sufisme Sepuluh Unsur Sufisme mengacu pada kerangka kerja individual, dimana sebagai Salik, ia menggali potensi untuk bangun atau hidup dalam dimensi yang lebih agung dan berada di luar pengalaman biasa. Al-Farisi mencatatnya sebagai berikut 1. Pemisahan dari kesatuan. 2. Persepsi pendengaran. 3. Persahabatan dan asosiasi. 4. Preferensi yang benar. 5. Penyerahan pilihan. 6. Pencapaian secara cepat “keadaan” tertentu. 7. Penetrasi pemikiran, pengujian diri. 8. Perjalanan dan gerakan. 9. Kepasrahan dalam menerima rezeki. 10. Pembatasan keinginan atau ketamakan. Latihan dan pelatihan Sufi berdasar pada Sepuluh Unsur ini. Sesuai dengan kebutuhan murid, guru akan memilihkan program-program studi dan tindakan untuknya dengan memberikan kesempatan kepadanya untuk melaksanakan berbagai fungsi yang terangkum dalam Unsur-unsur itu. Oleh karena itu, faktor-faktor ini adalah dasar persiapan individu menuju perkembangan dimana apabila ia tidak bisa mengalami atau merasakan, ia dibiarkan mencapainya sendirian. Jawaban Versi kedua Seseorang mesti bebas untuk bisa sepenuhnya menjadi cahaya bagi dirinya sendiri. Cahaya bagi diri sendiri! Cahaya ini tidak bisa diberikan oleh orang lain, Anda juga tidak bisa menyalakannya pada lilin yang lainnya. Jika Anda menyalakannya pada lilin yang lain, itu hanya layaknya sebatang lilin, ia bisa tertiup mati dengan mudah. Penyelidikan untuk mencaritahu apa arti dari menjadi cahaya bagi diri sendiri merupakan bagian dari meditasi. Jawaban Versi ketiga Al-Ghazali dalam Kitab Ajaaibul Qulub[5] jelas membedakan istilah-istilah seperti qalb rasa jiwa, bukan rasa jasadiah/psikis, nafs, ruh, dan aql; dimana istilah-istilah ini dalam konsepsi psikologi modern tak terpetakan dengan tegas karena berada pada tataran jiwa yang bersifat malakut, atau secara psikologi analitik berada di ruang ketaksadaran. Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna insan kamil dalam terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah memiliki struktur seperti tercantum dalam An-Nur [24] 35, seorang Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagai khalifatullah wakil Allah di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman. Ayat tersebut mengisyaratkan tentang manusia, dimana di dalam jasad misykat-nya terdapat nafs jiwa yang qalb zujajah-nya bercahaya seperti bintang karena telah dinyalakan dari dalam dengan api Ruh al-Quds misbah. Adapun misykat sifatnya kusam dan tak tembus pandang, sebagai perlambang jasad yang berasal dari alam mulk ardhiyah, merupakan manifestasi terendah dari kehadiran Al-Haq dalam alam syahadah. Rasulullah SAW menyinggung tentang eksistensi jiwa nafs yang qalbnya telah diperkuat oleh api Ruh al-Quds, sebagai berikut “Qalb itu ada empat macam, pertama, qalb yang bersih, di dalamnya terdapat pelita yang bersinar cemerlang, itulah qalb al-mu’min; kedua, qalb yang hitam terbalik, itulah qalb orang kafir; ketiga, yang terbungkus dan terikat pada bungkusnya, itulah qalb orang yang munafik; dan keempat, qalb yang tercampur, di dalamnya terdapat iman dan nifaq.” “Dialah yang telah menurunkan as-sakinah ke dalam qalb orang-orang al-mu’min, agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan yang telah ada” Al-Fath [48] 4. “Barang siapa memiliki juru-nasehat dari dalam qalbnya, berarti Allah telah memberi seorang penjaga hafidh atasnya” Rasulullah SAW. Qalb menjadi hitam dan terbalik jika ia mempertuhankan hawa nafsu, mengingkari dan mendustakan kebenaran al-haq. Hati yang seperti ini akan memandang bagus atas segala yang mereka kerjakan, karena tertutup ilusi dan waham syaithan. Adapun qalb si munafik terikat pada bungkus jasadiyah, merupakan qalb yang terlalu mencintai dunia terikat kepada syahwat jasmaniah; pandangan batinnya tertipu oleh nilai-nilai estetik fisik dengan tanpa melihat hakikatnya, maka ia bisa menjual’ agamanya demi kesenangan sesaat. Seperti telah diulas tadi, bahwa si nafslah yang menjadi fokus pendidikan Ilahi. Alam dunia ini bagi nafs sebenarnya hanya sebuah jenjang ’sekolah dasar’, Rasulullah SAW berkata bahwa alam dunia ini hanyalah sebuah jembatan kecil yang menghubungkan dua alam besar, dan si nafs diuji dalam pengembaraannya di oase’ ini; sementara ia harus menyelesaikan sejumlah jenjang ’sekolah lanjutan’ lagi. Di alam dunia, jasad atau raga insan berperan sebagai kendaraan bagi si nafs untuk menemukan al-haq di bumi jagat ini sebagai pelajaran pertamanya. Si nafs harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud khalq di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah al-haq. “Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di ufuk semesta dan di dalam nafs masing-masing, hingga jelaslah bagi mereka itu bahwa itu adalah al-haq” Al-Fushshilat [41] 53. “Tiap segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya” Al-Qashash [28] 88. Sebelum memahami bahwa Dia ada di mana-mana dan Dia lebih dekat dari urat leher, maka si nafs harus melihat kepada aspek wajah-Nya berupa Al-Haq; ia harus melihat bahwa hakikat dari segala sesuatu di alam semesta, berupa ayat-ayat Kauniyyah, adalah al-haq; juga hakikat dari apa yang ada di dalam nafs-nya tak lain adalah al-haq yang mengalir dari Martabat Ilahi. Sebelum si nafs dimasukkan ke dalam kurungan jasad corpus janin di dalam rahim ibu, maka si nafs dipanggil terlebih dulu ke hadapan Allah SWT, katakanlah ini adalah status nafs ketika di alam Nur atau alam Alastu. “Dan ketika Rabb-mu hendak mengeluarkan keturunan bani Adam dari sulbi mereka, dan Allah telah mengambil kesaksian atas nafs-nafs mereka, Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ mereka menjawab Benar! Kami menyaksikan’ Agar di hari kiamat kamu tidak berkata Sesungguhnya kami lengah atas kesaksian ini’” Al-Araf [7] 172. Sebelum nafs diturunkan di alam dunia, maka dalam kesaksian ini qadha dan qadarnya ditetapkan terlebih dahulu “amal-amal insan dikalungkan pada leher’nya” Al-Isra’ [17]13. Ketetapan-ketetapan ini berupa misi hidup swadharma yang harus dimanifestasikan di muka bumi, ini merupakan amanah Allah yang telah digariskan sesuai dengan bakat langit si nafs swabhawa, misi hidup setiap insan bersifat unik tidak ada yang sama satu dengan lainnya. Misi dharma si nafs harus ditemukan dan dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam dharma si nafs, karena bakat langit swabhawa si nafs merupakan fitrah yang tidak berubah, dan sebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan dirinya karena qalb-nya terpendam dosa. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-Din. Fitrah Allah, yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah ini, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Inilah ad-Diin yang teguh, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” Ar-Ruum [30] 30. Jika tanpa Rahmat Allah SWT, ketetapan-ketetapan Allah yang tertulis di dada si nafs tidak akan terbuka, dan ini merupakan rizqi batin manusia yang kuncinya ada di dalam nafs. Sementara untuk mencapai ini sulit karena harus menggeser pusat kesadaran dari ego ke nafs self. Dari alam Nuur, setelah 120 hari penyusunan janin bayi, maka nafs yang telah diamanahi qudratullah beserta ruh yang akan mengisi jasad si bayi diturunkan. Di sini si nafs berada dalam tiga kegelapan. “Kemudian Dia menyempurnakan janin, dan meniupkan kedalamnya ruh-Nya, dan Dia menjadikan bagimu, pendengaran, penglihatan, dan fu’ad, tapi sedikit di antara kamu yang bersyukur” As-Sajdah [32] 9. “Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu tahap demi tahap dalam tiga kegelapan” Az-Zumar [39] 6. Bagi si nafs sewaktu masih di dalam rahim, kegelapan pertama adalah wadah jasadnya sendiri, lapis kegelapan kedua adalah jasad ibunya, dan kegelapan ketiga adalah penjara alam dunia yang bersifat material. Ego dibentuk dan ditumbuhkan melalui fikiran oleh dua kekuatan, pertama persepsi inderawi yang bersifat syahwati, dan kedua oleh hawa nafs. Interaksi timbal balik dua kekuatan ini melalui link ego menjadi cenderung memperkuat satu sama lain dan membangun kompleks-kompleks sayyi’ah jiwa. Manusia digelapkan qalb-nya dan dilumpuhkan nafs-nya oleh dua perkara yaitu cinta dunia dan mempertuhankan hawa. “Berkata ia,’Ya Rabbi, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu di dunia adalah seorang yang melihat?’” Thaha [20] 125. “Karena sesungguhnya bukanlah matanya yang buta tetapi qalb yang di dalam dada” Al-Hajj [22] 46. “Yang demikian itu disebabkan oleh karena mereka mencintai kehidupan dunia di atas akhirat… Mereka itulah yang qalb, pendengaran, dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka adalah orang-orang yang lalai” An-Nahl [16] 107-108. “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawanya sebagai tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain bagaikan ternak bahkan lebih tersesat jalannya” Al-Furqaan [25] 43-44. “Dan barang siapa buta di dunia ini, maka di akhirat akan buta pula dan lebih tersesat jalannya” Al-Isra [17] 72. Bila nafs dirahmati Allah Ta’ala, maka secara bertahap indera-indera batinnya mulai bangun dan menguat, karena hijab-hijab dosa di qalb-nya mulai tanggal. Si nafs yang telah tumbuh kuat akan segera melakukan proses penggembalaan dan pendidikan atas tentara lahir dan tentara batinnya. “Dan adapun mereka yang takut akan maqam Rabb-nya dan menahan nafsnya dari hawa” An-Naazi’at [79] 40. Jika ego tidak dikonstruksi-baru oleh nafs, maka akan menjadi pabrik penghasil sayyiah, dimana racun’ hati ini secara efektif dapat mematikan qalb. Kesadaran, secara psikologis, berpusat di ego, sementara qalb dan nafs berada di bawah level kesadaran atau di ketaksadaran unconsciousness. Jika cahaya qalb tidak menyentuh ego dan pikiran, maka pada hakikatnya manusia belum mengenal qalb-nya apalagi memfungsikannya. Karena qalb tak berfungsi, maka manusia tersebut dikatakan belum memiliki qalb buta hati kecuali hati jasmaniahnya saja, dan hanya memiliki satu akal yaitu pikirannya saja. “Mereka memiliki qalb tetapi tidak digunakan untuk memahami, mereka memiliki mata tetapi tidak digunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak digunakannya untuk mendengar, mereka seperti ternak bahkan lebih tersesat” Al-A’raf [7] 179. Dengan transformasi akal dari ego ke lubb, maka kesadaran seseorang ditransformasi terus-menerus hingga menyentuh Lathifah Ilahiyah, sehingga qalb-nya “melihat” al-haq dimana-mana Al-Fushshilat [41] 53. Dalam dunia tashawwuf, hirarki uruj kesadaran batin mencakup tujuh proses Dalam proses ini, tahapan insan untuk memenuhi struktur yang dituntut oleh An-Nuur [24] 35 menjadi terlampaui. Ini adalah proses manusia untuk mengenal Rabb-nya, yang harus diawali dengan kesadaran atas keberadaan nafs dalam jasadnya sebagai jati diri yang sebenarnya. “Barangsiapa mengenal nafsnya maka akan mengenal Rabb-nya.” Rasulullah SAW Dengan bermujahadah pada proses tazkiyyatun-nafs maka instrumen mata dan telinga batin nafs akan mulai bangun secara bertahap. Seperti bangunnya akal jasadi pada bayi oleh tumbukan terus menerus citra alam dunia melalui indera mata dan telinganya, maka pengendalian mata dan telinga jasmani dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala akan mencergaskan kembali penglihatan dan pendengaran si nafs, dan dengan sehatnya dua indera batin tersebut akan mulai mengaktivasi akal jiwa lubb. Manusia yang lubb-nya hidup dinamai sebagai Ulul-Albaab, dan hanya Ulul-Albaab yang bisa memahami kalimah Ilahiyah di alam semesta. “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul-Albaab” Al Baqarah [2] 269. Proses uruj tadi merupakan proses taubat, dimana makna taubat adalah perjalanan kembali menuju Allah, merupakan proses ditariknya si hamba mendekat kepada-Nya, dan ini akan melampaui semesta alam-alam, karena jarak antara si hamba dengan Dia adalah tak hingga. Dan tidak ada alam yang ia lampaui, kecuali lubb-nya akan menguasai urusan-urusan di alam tersebut. Siapa yang bertaubat kembali kepada Allah maka itu baru awal dari hidayah pemberian petunjuk, dan siapa yang tidak mencari Allah tidak bertaubat maka mendzalimi dirinya sendiri. “Dialah yang memperlihatkan kepadamu ayat-ayat-Nya dan menurunkan kepadamu rizki dari langit jiwa. Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang bertaubatkembali.” Al-Mu’min [40] 13 “Dan sesungguhnya Aku menjadi Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih, kemudian atasnya petunjuk” Thaha [20] 82. “Siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” Al-Hujurat [49] 11. Pikiran yang tak jernih bisa mematikan qalb, dan jika qalb mati berarti qalb kehilangan Cahaya Jabarut-nya dan ini berdampak lumpuhnya si nafs dalam diri manusia. Jika nafs dalam diri manusia lumpuh maka lumpuh pula kekuatan amr dalam dirinya, sehingga aksi fungsi transenden ke ruang kesadaran tidak terjadi. Orang yang sehat qalb-nya dari dosa-dosa dan penyakit hati akan sehat pula nafs-nya, dan jika si nafs sehat ia akan membimbing raga untuk menemukan obat bagi penyakit fisiknya, dan ini perlu waktu “Barang siapa sehat qalb-nya maka akan sehat jasmaninya” Rasulullah SAW. Dengan mengerjakan misi hidupnya atau qudrah dirinya dharma yoga maka qalb orang itu terselamatkan dari penyakit fikiran, dan jika qalb selamat qalbun salim ia akan melihat’ Tuhannya. Kata Al-Ghazali, satu-satunya perangkat dalam diri manusia untuk ber-ma’rifatullah adalah qalb-nya. Qalb adalah rasa si jiwa nafs dan bukan rasa psikis emosi yang dapat tersentuh oleh observasi psikologis, ia adalah makhluk ruhani. Lebih jauh Al-Ghazali berkata bahwa jika seseorang tidak mengenal qalb-nya maka tidak akan mengenal nafs-nya; jika nafs tidak dikenal maka dharma tak dikenal; jika dharma tak dijalankan maka terputus jalan untuk menuju Sang Pencipta; dan jika ia terputus jalan maka kesadarannya tidak akan melampaui alam-alam, sehingga kebijakan-kebijakan Ilahi dalam kehidupan semesta tak terpahami oleh akal bawahnya. Maka dikatakan Allah SWT bahwa hanya Ulul-Albaab orang yang memiliki akal jiwa/lubb yang bisa memahami ayat-ayat-Nya, dan lubb itu tidak menyala jika cahaya qalb padam. Inteligensia atau kecerdasan fisik kekuatannya hanya menyentuh sejauh alam fisik. Jika kita mencoba menggunakan kecerdasan fisik untuk menggeneralisasi atau menginduksi imajinasi ke alam malakut, maka hal ini seperti nasib elemen-elemen vektor yang jika dioperasikan bagaimanapun dengan hukum-hukum ruang vektor, tidak akan melompat keluar dari ruang vektornya. Akibatnya “pantai yang lain” selalu tak diketemukan. Kecerdasan bawah’ hanyalah bayangan dari kecerdasan jiwa kecerdasan atas’ yang mestinya bisa dilahirkan dengan jalan mujahadah dalam tazkiyyatun-nafs. Al-Quran menyinggung ihwal pertumbuhan pribadi insan hingga baligh-nya dan ihwal usia 40-tahunan, dimana manusia sudah harus melakukan proses taubat Al-Ahqaaf [46] 15. Dengan proses taubat maka fitrah insani dalam arti yang haqiqi akan terbuka Ar-Ruum [30] 30-31, dimana fitrah ini terkait dengan persoalan swabhawa-swadharma dan qadha-qadar, dan ini terletak di nafs manusia yang harus direalisasi. Jika manusia melupakan Allah SWT, atau menomorduakan urusan Tuhannya, maka Dia akan membuat si manusia tersebut lupa akan nafsnya Al-Hasyr [59] 18-19, dan lumpuhlah si nafs itu dari berkata-kata nathiqah ihwal fitrah dirinya padahal kesaksian tentang perkara “misi hidup” ini telah diambil si nafs sebelum ia dimasukkan ke rahim ibu Al-’Araaf [7] 172. Aspek olah jiwa suluk atau dimensi batin dari agama-agama sebenarnya untuk tujuan transformasi dari “arah dalam,” mengubah sayyi’ah-sayyi’ah menjadi hasanah-hasanah Al-Furqaan [25] 70-71. Apa yang disebut dengan kecerdasan, di tingkat apapun merupakan produk dari transformasi-transformasi diri, terutama transformasi jiwa. Dalam konsep Al-Qur’an, kecerdasan seseorang dalam suatu lingkup dharma berbanding lurus dengan tingkat kesucian jiwa yang diperoleh lewat jalan taubat Al-Mu’min [40] 13. Jika jiwa tumbuh maka akal jiwa lubb akan tumbuh juga, sehingga hiduplah akal luar dan akal dalamnya, sejalan dengan apa yang dikatakan Rasulullah SAW “Tiap-tiap sesuatu bekerja menurut caranya orbitnya masing-masing, maka Rabbmu mengetahui siapa-siapa yang terpimpin jalannya huwa ahda sabiila. Dan mereka bertanya kepadamu ihwal Ar-Ruh, katakanlah bahwa Ar-Ruh itu dari amr Rabbku, dan tidak kamu diberi pengetahuan tentang ini kecuali sedikit” Al-Israa [17] 84-85. Dari ayat di atas, jelas bahwa aspek Ar-Ruh atau Ruh Al-Quds Holy Spirit dihubungkan dengan orbit diri atau misi hidup tiap-tiap insan yang unik satu sama lain. Dan rahasia dari Ar-Ruh ini terletak di nafs, dan seperti Al-Ghazali katakan bahwa jika qalb tak dikenal maka nafs tak dikenal. Siapa yang seolah-olah melupakan Allah, maka Allah buat dia lupa akan nafsnya, sehingga tertutuplah jalan untuk mengenal Dia. Barang siapa tidak mengenal nafsnya maka ia tidak akan mengenal Tuhannya. Jawaban Versi ke empat Anand Krishna, dalam buku karangannya “Haqq Moujud”, menjelaskan bahwa ada tujuh anak tangga menuju Tuhan. Biasakan bicara dengan lembut, setiap hari sisihkan waktu bagi dirimu sendiri dalam keheningan, belajar memaafkan dan melupakan kesalahan orang, sayangi mereka yang berbuat jahat kepadamu, bukalah hatimu bagi segala sesuatu yang baik, hindari lingkungan dan persahabatan yang tidak menunjang evolusi bathin dan terakhir, hargai segala sesuatu, tetapi janganlah terikat pada sesuatu. Keterikatan hendaknya pada yang satu-Allah. Jawaban Versi Kelima Evelyn Underhill 1menguraikan jalan mistik sebagai jalan yang dilewati oleh salik menuju Illahi, langkahnya sebagai berikut – Bangkitnya kesadaran awakening – Pembersihan purification – Penerangan ilumination – Malam gelap jiwa the dark night state – Kesadaran bersatu the unitive state. Jawaban versi keenam Al Attar, dalam “Musyawarah Burung”, mengungkapkan “Burung-burung itupun akhirnya sepakat untuk mencari Simurgh, tetapi sebelum memulai perjalanannya Hudhud menggambarkan tujuh bukit – melambangkan jalan Sufi menuju kesempurnaan – yang harus dilalui Pencarian, Cinta, Pemahaman, Kemandirian dan keterlepasan, Kesatuan Murni, Ketakjuban dan akhirnya kefakiran dan kenihilan kehampaan jiwa. Akhir dari pengembaraan burung-burung dalam mencari Si-Murgh, setelah selubung akal dari jiwa disingkapkan sepenuhnya dan mereka menemukan Si-Murgh tiga puluh burung, adalah merupakan refleksi dari Sang Raja. Pada awalnya penemuan transformasi kesadaran, yaitu proses identifikasi dengan objek pencarian, membuat mereka takjub, mereka tidak tahu apakah mereka masih merupakan diri mereka atau apakah mereka telah menjadi Si-murgh. Dan jika mereka melihat kedua-duanya secara bersama-sama, keduanya adalah Simurgh, tidak kirang dan tidak lebih. Yang ini adalah itu, dan yang itu adalah ini”. Jawaban Versi ketujuh, Al Ghazali dari kitabnya yang lain Al Ghazali, mengungkapkan di dalam kitab Al Munkid Min Al Dzalal “Sungguh jalan ini tidak bisa diikuti kecuali dengan ilmu dan amal, yang harus menempuh tanjakan-tanjakan ruhani dan membersihkannya dari ahlak-ahlak tercela dan sifat jahat. Sedemikian sehingga, hati menjadi kosong dari selain Allah, kemudian mengisinya dengan dzikir. Bagiku, ilmu lebih mudah daripada amal. Aku pelajari kitab-kitab sufi terdahulu, sehingga aku paham secara ilmiah. Penjelasan lebih dalam aku ikuti dan aku dengar dari uraian mereka. Tampak, pada posisi tertentu, perjalanan tasawuf ini tidak bisa ditempuh dengan belajar dari ilmu, tetapi dengan dzauq fruitional experience, hal dan kebersihan hati. Tentu berbeda orang yang kenyang dengan orang yang tahu pengertian kenyang. Masih banyak perjalanan sufi yang lain, seperti Al Jilli, Ibn Arabi, Al junaed, atau yang dari negeri sendiri, Syech Siti Jenar, Hamzah Fansuri, ekspresi antara satu sufi dengan sufi yang lainnya sungguh berbeda. 4. Kapan sebaiknya perjalanan spiritual ini dilaksanakan? Sekarang ini, bahkan sejak saat baru lahir.. 5. Mengapa perlu adanya perjalanan ruhani menuju Allah? Agar kita memahami secara benar esensi Allah pada diri kita, sehingga syahadat yang kita ucapkan adalah benar adanya. 6. Siapa saja yang bisa melakukan perjalanan ruhani menuju Allah? Syaikh Allamah Sayyid Abdullah Haddad, semoga Allah meridhoinya menjawab Para murid dan salik yang akan melakukan perjalanan ruhani itu ada dua macam, pertama salik yang berikhtiar dan berusaha keras. Dia adalah salik qabl al jadzb orang yang berjalan menemukan Tuhan dengan kekuatan sendiri sebelum ada kekuatan yang menariknya. Dan kedua Salik bil ghalabah wa al idhthirar orang-orang yang berjalan menemukan Tuhan karena terkalahkan dan terpaksa. Dia adalah al majdzub al suluk tertarik sebelum berjalan. Sebagian ahli tharekat berpendapat bahwa salik qabl al jadzb lebih utama, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya. 7. Apa yang dimaksud bersama Allah? Dalam proses menyucikan diri dan mengembalikan rahasia kepada Tuan Pemilik Rahasia, maka manusia itu semestinya mengutamakan kesuciannya untuk menuju ke peringkat asal kejadian rahsia Allah Taala. “AL INSANUL SIRRUHU WA ANA SIRRUHU”, Maksudnya; “Manusia itu adalah rahasiaKu dan aku adalah rahsia manusia itu sendiri”. Dengan memahami Martabat Alam Insan ini , maka sudah pastilah kita dapat mengetahui bahwa diri kita ini adalah SifatNya Allah Taala semata-mata. Diri sifat yang di tajallikan bagi menyatakan SifatNya Sendiri yakni pada Alam saghir dan Alam Allah Taala Memuji DiriNya dengan Asma’Nya Sendiri dan Allah Taala menguji DiriNya Sendiri dengan Afa’alNya Sendiri. Dalam memeperkatakan Martabat Alam Insan kita memperkatakan diri kita sendiri. Diri kita daripada Sifat Tuhan yang berasal daripada Qaibull-Quyyub Martabat Ahdah yaitu pada martabat Zat hingga zahir kita menyifati sifat Muhammad. Oleh yang demikian wujud atau zahirnya kita ini bukan sekali-kali diri kita, tetapi sebenarnyadiri kita ini adalah penyata kepada diri Tuhan semesta alam semata-mata. Seperti FirmanNya INNALILLA WAINNA ILAIHI RAJIUN’ artinya “Sesungguhnya diri mu itu Allah Tuhan Asal Diri Mu dan hendaklah kamu pulang menjadi Tuhan kembali”. Setelah mengetahui dan memahami secara jelas dan terang bahwa asal kita ini adalah Tuhan pada Martabat ahdah dan NyataNya kita sebagai SifatNya pada Martabat Alam Insan dan pada Alam Insan inilah kita memulakan langkah untuk mensucikan sifat diri kita ini pada martabat Sifat kepada Martabat Tuhan kembali yaitu asal mula diri kita sendiri atau Martabat Zat. Ukuran kesalehan atau kedekatan dengan Tuhan itu, tidak dilihat dari pengalaman-pengalaman rohani yang aneh-aneh, misalnya bisa melihat cahaya, menangis histeris, terisak-isak, merasakan kesunyian yang mencekam atau menciptakan peristiwa-peristiwa gaib. Bukti kesalehan-nya justru dibuktikan dengan kita menjadi pelaksana dari kasih sayang Tuhan. 8. Apa Yang dimaksud Di dalam Allah? “Man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu”, bukan semata-mata artinya “siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.” Kata ” Arafa”, juga “Ma’rifat,” berasal dari kata arif, yang bermakna sepenuhnya memahami’, mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya’; dan bukan sekedar mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata nafs’, salah satu dari tiga unsur yang membentuk manusia Jasad, nafs, dan ruh. Jadi, kurang lebih maknanya adalah “barangsiapa yang arif sebenar-benarnya telah mengetahui akan nafs-nya, maka akan arif pula akan Rabbnya”. Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah, hanyalah dengan mengenal nafs terlebih dahulu. Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu arif akan Rabb kita, maka setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas Ad-diin’. Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut Ma’rifatullah’ meng- arifi Allah dengan sebenar-benarnya, sebenarnya barulah –awal–perjalanan, bukan tujuan akhir perjalanan sebagaimana dipahami kebanyakan orang. Salah seorang sahabat Rasul selalu mengatakan kalimatnya yang terkenal “Awaluddiina ma’rifatullah”, Awalnya diin adalah ma’rifat meng-’arif-i Allah. 9. Apa yang dimaksud khalifah Allah? Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna insan kamil dalam terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah memiliki struktur seperti tercantum dalam An-Nur [24] 35, seorang Insan Ilahi. Manusia dikatakan sebagai khalifatullah wakil Allah di bumi jika ia telah mencapai state tersebut, ia membawa kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman. Dalil tentang khalifah ini QS 230, 7129, 2762, 3539, 3826 Kesimpulannya Jadi, perjalanan ruhani kita hakekatnya adalah mengungkap makna INNALILLA WAINNA ILAIHI RAJIUN’ artinya “Sesungguhnya diri mu itu Allah Tuhan Asal Diri Mu dan hendaklah kamu pulang menjadi Tuhan kembali”.
SeribuJalan Menuju Allah. Syekh Muḥammad Amîn al-Kurdî menjelaskan bahwa titik awal (permulaan) jalan para sufi Ahlussunnah wal Jamâ'ah adalah pergi/kembali ( al-firâr) kepada Allah dari segala sesuatu, dan titik (tujuan) akhir dari perjalanan mereka adalah bergantung ( at-ta'alluq) sepenuhnya kepada Allah.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. “Tentang Perjalanan Ruhani Menuju Tuhan”. Perjalanan menuju Tuhan, fase sebelum di lahirkan ke dunia. Hakekatnya ketika manusia dilahirkan ke dunia fana ini adalah sebuah fase perjalanan menuju Tuhan. Tahapan ini bisa dikatakan fase yang ke dua, mencari jalan pulang menuju Allah Swt. Sebuah tahapan perjalanan ruhani menuju Sang Pencipta yaitu Allah Swt. Dalam perjalanan ruhani ini setiap manusia di wajibkan untuk berusaha mendekatkan diri. Interopeksi diri dan memperbaiki diri ketika mendapat ujiannya saat menjalani kehidupan di dunia. Setiap apa yang kita kerjakan, akan menerima pertanggung jawaban di kehidupan akherat nanti. Sebuah perjalanan ruhani dengan mendekatkan diri adalah salah satu tujuan yang mulia untuk mengenal Rabb-Nya, Allah Swt. Akan tetapi sangat beresiko jika kita tidak memiliki pengetahuannya. Apalagi tanpa sesorang mursid yang membimbing melewati tahapannya. Sebuah tahapan perjalanan ruhani menuju Allah Swt yang wajib di landasi dengan hati bersih dan tulus. Hati yang ikhlas dan tulus menjadi syarat utama jika menempuh jalan ini. Siapapun bisa menempuhnya dan tidak harus manusia yang berpikiran cerdas, berintelektual, untuk mengenal Allah Swt. Tidak jarang pengetahuan tetang syariat dan perbedaan madzab akan menjadi sebuah hijab. Menjadi penghalang dalam proses dan tahapan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Perjalanan ruhani dengan mengenal diri sendiri sebagai makhluk ciptaanNya, membuka jalan untuk mengenal Allah setiap jiwa atau ruh manusia sebelum dilahirkan ke dunia berada di alam ruh. Tempat berkumpulnya ruh atau jiwa sebelum mereka ditiupkan ke alam kandungan. Di jadikanlah setiap ruh berpasang-pasangan sesuai yang tertulis di dalam buku catatan takdir setiap manusia. Allah Swt telah mengambil perjanjian dan kesaksian setiap ruh, sebelum ruh ditiupkannya ke alam kandungan. Ini-lah peristiwa yang terjadi di alam ruh, ditahapan ini setiap jiwa atau ruh memulai perjalanannya. Sebuah fase pertama perjalanan dari alam ruh menuju alam kandungan atau sebelum titik nol/zero. Saat janin berusia tiga bulan dalam rahim ibu, ditiupkanlah ruh ke dalam diri seorang bayi. Tahapan awal kehidupan di alam kandungan atau titik nol sebuah kehidupan. Hingga saatnya dilahirkan ke dunia menjadi seorang manusia dengan semua hakekatnya tidak ada satu jiwa pun atau ruh yang lahir ke dunia. Kecuali Allah telah mengambil perjanjian dan kesaksian mereka di alam ruh. Allah Swt adalah Rabb sekalian alam dan tidak ada satu pun makhluk yang boleh mengingkari ke Esaan-Nya. Dimana setiap jiwa atau ruh telah diambil kesaksian dan perjanjian dengan Allah Swt. Di hadapan Allah Swt, Nabi Adam dan penduduk langit sebagai saksinya. Secara fitrah kadang manusia memang lupa akan perjanjian itu, dan Allah Swt pasti akan mengingatkan. Semoga kita selalu menjadi orang-orang yang diridoi Allah Swt, untuk memegang teguh kesaksian kita. Dinyatakan dalam Al Quran ayat di bawah ini “Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah padahal Rasul menyerukan supaya kamu beriman kepada Tuhanmu. Dan sesungguhnya Dia Allah telah mengambil perjanjianmu, jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”QS. Al Hadid, 57 8.. Perjalanan manusia di dunia, mencari jalan pulang menuju Allah menuju Allah Swt menurut para sufi ibarat sebuah perjalanan mendaki gunung yang tinggi. Fase pertama perjalanan menuju Allah Swt dikatagorikan sebagai perjalanan yang sulit, terasa sempit, dan berliku. Dibutuhkan sebuah tekad yang kuat melangkah ke depan karena banyak rintangan dan godaan. Jejak langkah para sufi adalah jalan khusus yang berat untuk diikuti, namun tidak mustahil menjalaninya. 1 2 Lihat Filsafat Selengkapnya
Petuahke-49 : Etika Perjalanan Menuju Allah #2 Petuah Singkat SUFI Agung Petuah harian ke-49 🐬 ~Etika Perjalanan Menuju Allah~ 📗Bagian Kedua Syeikh Abu Madyan berkata, ⛵ Jangan pernah memperhatikan dan mencela cacat seseorang. ⛵ Meskipun kekurangan dan kebusukannya jelas terpampang.
34. Perjalanan Menuju Allah Keadaan hamba yang dipersiapkan untuk memasuki jalan kerohanian itu sudah sangat berbeza daripada keadaannya yang asal. Minatnya kepada orang ramai sudah tidak ada lagi. Dia tidak memperdulikan lagi televisyen, radio, surat khabar, talipon, kunjungan sahabat handai dan lain-lain. Dia lebih suka bersendirian. Dalam suasana bersendirian itulah dia dibawa kepada stesen kerohanian yang pertama. STESEN PERTAMA Si hamba membetulkan niatnya “Ilahi! Engkaulah maksud dan tujuan. Keredaan Engkau yang daku cari“. Tiada niat lain lagi baginya. Dia tidak mengharapkan untuk menjadi wali atau mendapat kekeramatan. Dia tidak meminta ilmu keduniaan atau ilmu akhirat. Dia adalah umpama seorang pesalah yang sedang menanti dengan rela hukuman pancung yang akan dijatuhkan kepadanya. Dia menyerahkan batang lehernya’ bulat-bulat kepada pancungan’ takdir. Dalam penyerahan itu si hamba merasakan hatinya seperti disinari cahaya yang terang, lebih terang daripada segala cahaya yang ada di bumi. Dalam suasana hati yang demikian dia merasakan kewujudan jalinan hubungan yang erat dengan Kenabian Ibrahim Rasa kehadiran Ibrahimiyah membuat si hamba mengenangkan keluhuran Nabi Ibrahim yang hanif, dengan kekuatan sabar, reda dan tawakalnya. Ibrahim meninggalkan isteri yang sarat mengandung di tempat yang tidak ada penghuni, demi menjunjung perintah Tuhan. Ibrahim sanggup mengorbankan anak kesayangan demi menjunjung perintah Tuhan. Ibrahim mempunyai kekuatan hati kerana hati beliau berserah sepenuhnya kepada Allah Sewaktu akan dicampakkan ke dalam api Ibrahim berkata “Tuhanku melihat keadaanku. Dia tahu apa yang baik untukku. Dia tidak akan membiarkan daku”. Api kehilangan keupayaan membakar apabila berhadapan dengan kekuatan penyerahan Ibrahim Si hamba berdoa kepada Tuhan “Wahai Tuhanku! Kurniakanlah kepadaku sebahagian daripada apa yang telah Engkau kurniakan kepada Khalil-Mu, Ibrahim Kurniakanlah kepadaku rasa penyerahan yang sebenarnya kepada-Mu. Perkuatkanlah kesabaranku menghadapi ujian-Mu. Teguhkan tawakalku menanti keputusan-Mu. Kurniakanlah kepadaku keredaan yang sebenarnya dalam menerima takdir yang datang daripada-Mu, baik atau buruk”. Hati si hamba sentiasa memanggil Tuhannya “Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah! Ya Allah!” Inilah hamba-Mu yang berdiri kerana menjunjung perintah-Mu. Inilah hamba-Mu yang rukuk kerana memuji dan memuja-Mu. Inilah hamba-Mu yang sujud kerana mengharapkan Wajah-Mu. Wahai Tuhanku. Janganlah Engkau jadikan kejahilan dan kedaifanku sebagai hujah untuk Engkau tidak menerima kedatanganku”. Kemudian didatangkan kecenderungan membaca al-Quran kepada hati si hamba. Si hamba memulakannya dengan membaca Surah al-Hadiid, Surah yang ke lima puluh tujuh. Dia membacanya dengan penuh penghayatan dan memahami maksudnya. Surah ini mengajar manusia supaya sanggup berkorban kerana Allah demi menegakkan kebenaran. Diterangkan bahawa kehidupan di dalam dunia ini adalah perjuangan di antara yang benar dengan yang salah. Orang yang beriman kepada Allah Rasul-Nya dan hari akhirat mestilah mempertahankan keyakinan yang benar dan apa sahaja yang benar. Surah ini juga memperingatkan bahawa mengenakan tipu daya kepada manusia. Manusia mestilah sedar bahawa dunia dengan segala kemewahannya tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan perjuangan pada jalan Allah Manusia digesa supaya mengejar nikmat yang ada pada sisi Allah disediakan untuk orang yang bertaubat dan bertakwa. Manusia juga diperingatkan supaya bersabar menerima ujian daripada Allah Ia mengajar manusia supaya beriman kepada Qadak dan Qadar. Tidaklah mengena satu bencana atas bumi dan tidak pula pada diri kamu melainkan semua itu sudah tercatit dalam Kitab sebelum Kami melakukannya. Yang demikian bagi Allah sangatlah mudah. Allah khabarkan demikian supaya kamu tidak berputus asa terhadap apa yang telah hilang daripada kamu dan tidak menyombong dengan apa yang datang kepada kamu. Dan Allah tidak suka kepada orang yang menyombong. Ayat 22 & 23 Surah al-Hadiid Allah menerangkan bahawa segala yang berlaku adalah menurut takdir yang Dia telah tentukan. Membuat yang demikian sangatlah mudah bagi Tuhan kerana Ilmu-Nya meliputi yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin. Orang yang beriman tidak seharusnya berputus asa apabila berpisah daripada sesuatu yang dia sayangi kerana mungkin menurut Ilmu Allah yang demikian baik baginya. Kesusahan dan bala bencana membuat manusia menjadi sabar, reda, bertawakal dan bersyukur, lalu dia dibawa hampir dengan-Nya. Ini jauh lebih baik daripada apa yang terpisah daripadanya. Surah al-Hadiid juga memperkenalkan Allah melalui nama-nama-Nya. Nama-nama Tuhan menjadi jambatan menghubungkan hamba dengan Tuhan. Jika nama Tuhan ditilik dengan hati nescaya terlihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata. Seterusnya si hamba membaca pula Surah as-Sajdah, Surah yang ke tiga puluh dua. Surah ini mengajak manusia memerhatikan hubungan mereka dengan Pencipta. Tuhan menciptakan manusia pertama daripada tanah dan keturunan manusia dikembangkan melalui air mani. Tuhan sempurnakan ciptaan manusia dengan pengurniaan kepada mereka roh dan diperlengkapkan dengan berbagai-bagai bakat serta keupayaan. Surah ini menceritakan keadaan orang yang beriman sujud kepada-Nya apabila mereka diperingatkan dengan-Nya Orang beriman memisahkan diri mereka daripada tempat tidur pada malam hari kerana melakukan ibadat kepada-Nya, memuji dan memuja-Nya dengan rasa takut dan harap. Manusia diberitahu bahawa Allah adalah Pencipta, Pengatur dan Pengurus segala-galanya. Hanya Dia yang berkuasa memberi pertolongan dan pembelaan. Dia Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Oleh itu layaklah jika hamba mengadu dan merayu kepada-Nya sahaja, tidak kepada yang lain. Manusia diperingatkan supaya menggunakan bakat dan keupayaan yang Tuhan kurniakan kepada mereka untuk berbakti kepada-Nya bukan berbuat maksiat. Si hamba semakin merasakan keakraban dengan al-Quran. Dibacanya pula Surah Luqman dengan penuh penghayatan. Surah ini menceritakan sifat orang yang beriman seperti yang telah digambarkan oleh Surah as-Sajdah. Luqman adalah seorang hamba Allah yang salih. Beliau banyak bertafakur merenung alam keliling dan kehidupan di dalamnya. Tuhan bukakan kepadanya rahsia kehidupan. Beliau dapat melihat kehidupan ini dengan pandangan hikmah, kerana itu beliau digelar ahli hikmah. Ahli hikmah melihat yang tersirat sedangkan orang lain melihat yang tersurat. Keseronokan membaca al-Quran berterusan. Dibacanya pula Surah Yusuf. Surah ini menceritakan bahawa orang yang memperolehi hikmah adalah orang yang tahan menanggung ujian. Ujian merupakan proses penyucian dan pembentukan jiwa manusia. Si hamba beralih pula kepada Surah Saba’. Surah Yusuf menceritakan hamba-Nya yang diuji dengan kesusahan. Surah Sabaa pula menceritakan tentang hamba-hamba-Nya yang diuji dengan kesenangan dan kekuasaan. Nabi Daud a. s menjadi raja yang sangat luas daerah kekuasaannya, hinggakan angin dan gunung ditundukkan kepadanya. Anakandanya, Sulaiman mewarisi kekuasaan tersebut. Kekuasaan Sulaiman ditambah lagi hinggakan haiwan dan jin tunduk kepadanya. Kerajaan dan kekuasaan yang begitu luar biasa tidak sedikit pun menggugat iman Daud dan Sulaiman Si hamba kemudiannya membaca Surah Faatir. Surah ini menggambarkan dengan indah bangunan alam maya ciptaan Tuhan. Diceritakan keharmonian perjalanan anggota-anggota alam. Manusia yang menggunakan akal fikiran akan dapat menghayati kerapian ciptaan Tuhan untuk mereka merasakan kebesaran dan keagungan Tuhan. Surah Faatir menekankan bahawa segala-galanya berpusat kepada Kudrat dan Iradat Tuhan yang tidak terbatas. Semuanya diciptakan dan diaturkan oleh satu kuasa sahaja, iaitu Allah Yang Maha Esa. Manusia diciptakan dan dihantarkan ke bumi. Kemudian dikirimkan petunjuk supaya manusia dapat menjalankan urusan dan bertugas sebagai khalifah di bumi. Mereka diberi peringatan bahawa mereka akan berhadapan dengan gangguan-gangguan. Gangguan tersebut memperingatkan mereka kepada tujuan mereka dihantarkan ke bumi. Setelah membaca Surah-surah al-Hadiid, as-Sajdah, Luqman, Yusuf, Saba’ dan Faatir, si hamba mendapat keinsafan yang mendalam. Dibacanya pula Surah at-Taubah sebagai pengakuan bahawa dia bertaubat daripada segala kesalahan dan kekeliruannya. Si hamba menghayati tujuh buah Surah daripada al-Quran. Pembacaan al-Quran kali ini sangat menyentuh jiwanya. Hatinya berasa terang dan jelas memandang kepada jalan yang mahu ditujunya. Tujuan dan matlamatnya untuk menghampiri Tuhan semakin teguh. Sesungguhnya membaca al-Quran dalam suasana kehadiran Hakikat Ibrahimiyah memperkuatkan tapak kakinya untuk terus berjalan kepada Tuhan. Tidak ada apa lagi yang boleh mengalihkan pandangannya daripada matlamatnya. Kemudian hatinya dibawa kepada suasana kehadiran Hakikat Musawiyah. Musa adalah Kalim Allah, iaitu orang yang Allah bercakap-cakap dengannya. Musa mengerti tentang Kalam Allah yang tidak bersuara dan berhuruf. Dalam suasana kehadiran Musawiyah itu si hamba memulakan pembacaan al-Quran dari permulaannya. Dimulakannya dengan membaca Surah al-Faatihah, Ibu Kitab, kunci pembuka keghaiban, cahaya yang terang benderang menerangi hati nurani. Hati yang diterangi oleh cahaya al-Faatihah merenung al-Quran, huruf demi huruf, ayat demi ayat. Al-Quran dibaca bukan sekadar mengeluarkan bunyi dan erti-makna malah lebih mendalam daripada itu al-Quran melahirkan daya rasa yang seni, yang melampaui apa yang mampu disampaikan oleh bunyi dan makna. “Jika ada satu Kitab yang mampu dijalankan gunung-gunung dengannya atau dibelah bumi dengannya atau dibuat bercakap orang yang telah mati dengannya, maka al-Quran adalah Kitab tersebut”. Apabila hati menghayati maksud ayat ini, maka al-Quran jualah yang membawa hati kepada jalan yang lurus, membelahnya untuk diisi dengan kebaikan dan menghidupkannya untuk memandang kepada Tuhan. Bacaan al-Quran bertindak seumpama air sejuk yang enak menyerap ke seluruh rongga dan ruang. Bacaannya memberi kesan kepada seluruh diri zahir dan Diri Batin, menyerap ke seluruh maujud, menjadi darah dan daging, menjadi cita-cita dan keinginan. nur al-Quran menghancurkan hijab yang didirikan oleh syaitan, dunia dan hawa nafsu. Tenaga nur al-Quran akan menghapuskan apa sahaja yang cuba menawan hati. nur al-Quran membebaskan hati daripada segala bentuk perhambaan kepada makhluk dan menetapkan satu perhambaan sahaja iaitu perhambaan kepada Allah yang tidak bersekutu dengan-Nya sesuatu apa jua pun. Bila ruang hati sudah penuh dengan nur al-Quran baharulah manusia itu benar-benar menjadi hamba Allah yang sesuai dengan Kalam Allah Penghayatan bacaan al-Quran tanpa penyerapan nur al-Quran tidak memadai untuk membentuk insan al-Quran, seperti generasi Muslim yang diasuh secara langsung oleh Nabi Muhammad Si hamba sampai kepada ayat 54, Surah al-Baqarah Dan ingatlah tatkala Musa berkata kepada kaumnya “Wahai kaumku! Sesungguhnya kamu telah menzalimi diri-diri kamu dengan sebab kamu menyembah anak sapi. Oleh itu minta ampun kepada Tuhan dan bunuhlah diri-diri kamu. Yang demikian itu baik bagi kamu pada sisi Tuhan kamu. Lantas Dia ampunkan kamu kerana sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Penyayang.” Ayat 54 Surah al-Baqarah Hati si hamba disentuh oleh ayat di atas. Bukan kaum Nabi Musa sahaja yang menzalimi diri mereka. Manusia lain juga tidak kurang menzalimi diri sendiri. Mereka juga menyembah berbagai-bagai anak sapi’ yang dibentuk oleh hawa nafsu mereka. Musa menyarankan agar bertaubat dan diri yang zalim itu dibunuh. Si hamba yang berada dalam suasana kehadiran Hakikat Musawiyah menyahut seruan ayat 54, Surah al-Baqarah itu. Si hamba berdiri menghadap kiblat sambil mengangkat tangannya. Dia melafazkan dengan penuh kekhusyukan Aku bertaubat daripada menzalimi diri sendiri. Si hamba mengerti bahawa kezaliman yang paling besar adalah meletakkan taraf ketuhanan Allah tidak pada kedudukan yang adil dan meletakkan taraf makhluk melebihi apa yang sepatutnya. Dia benar-benar ikhlas membunuh’ dirinya yang zalim agar diri yang adil sahaja tegak berdiri. Si hamba bersyukur kepada Allah kerana memberinya taufik, hidayat dan kekuatan untuk melakukan taubat yang demikian. Peristiharan hamba yang ikhlas itu menjadi kenyataan kepada firman Tuhan Dan tidak! Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menegur dirinya nafsu lawwamah. Ayat 2 Surah al-Qiyamah Nafsu lawwamah adalah diri hamba yang menginsafi segala kesalahan yang telah dilakukannya dan benar-benar ingin memperbaiki diri sendiri. STESEN KE DUA Sambil membaca al-Quran si hamba memperbanyakkan zikir. Dipalukannya zikir itu kuat-kuat ke dalam lubuk hatinya, seumpama jentera yang memukul tiang konkrit ke dalam tanah hingga bergegar tanah di sekelilingnya. Ucapan zikir bergema di dalam diri. Gemanya menyelinap ke seluruh ruang diri. Di dalam suasana kehadiran Hakikat Musawiyah hati si hamba diperkuatkan bagi melawan anasir syirik yang cuba menguasai jiwanya. Kemudian dia berpindah pula kepada suasana kehadiran Hakikat Isaiyah. Si hamba meneruskan pembacaan al-Quran dalam suasana yang baharu ini. Dalam suasana ini hati banyak memerhatikan urusan taubat. Hati mencari-cari cara taubat yang lebih baik. Dia mahu memutuskan dirinya daripada rantai-rantai yang mungkin boleh mengheretnya semula kepada kesalahan. Dia mahu menjadi orang yang benar dengan taubatnya. Dia terus membaca al-Quran dari satu Surah ke Surah yang lain dalam suasana hati memohon keampunan kepada Allah mengharapkan taubatnya diterima oleh-Nya. Dalam suasana bertaubat memohon keampunan Allah dalam kehadiran Hakikat Isaiyah atau dalam sinaran cahaya kenabian Isa si hamba mendapat pengertian bahawa bertaubat bukan sekadar menyesal dan meninggalkan kesalahan. Lebih penting daripada itu adalah menyesuaikan baki hayat yang masih ada dengan al-Quran secara zahir dan batin. Taubat adalah pintu kepada al-Quran, bukan sekadar pintu meninggalkan kesalahan dan dosa. Taubat yang sebenarnya berlaku di dalam sinaran nur al-Quran, dalam suasana hati yang sama dengan hati orang yang sedang mengerjakan sembahyang dengan khusyuk. Setelah selesai membaca Surah Maryam sebelum memasuki daerah Surah Taha, si hamba digerakkan’ supaya meletakkan tangannya ke atas dada al-Quran, pada muka pertama Surah Taha dan dia mengucapkan Aku bertaubat daripada perbuatan syirik dan munkar. Kemudian si hamba menadah tangannya ke langit dan bermunajat kepada Tuhan “Wahai Tuhanku! Engkau Mengetahui kezaliman dan kejahatan diriku. Jika tidak kepada Engkau kepada siapa lagi hendakku pohonkan keampunan. Sesungguhnya Engkau jualah Tuhan Yang Maha Mengampuni dan Maha Mengasihani. Ya Allah, ya Tuhanku! Ampuni segala dosa-dosaku, dosa-dosa kedua ibu-bapaku ,dosa-dosa isteri dan anak-anakku, dosa-dosa saudara-saudaraku dan dosa-dosa sekalian kaum Muslimin dan Muslimat. Sesungguhnya Engkau jualah yang mengampunkan dosa-dosa hamba-Mu. Amin!” Si hamba menyapu mukanya dengan kedua-dua tapak tangannya yang telah menyentuh al-Quran dan menadah ke langit itu. Dia merasakan aliran wap sejuk berjalan ke seluruh tubuhnya. Dia berada dalam keadaan demikian beberapa ketika. STESEN KE TIGA Si hamba meneruskan perjalanannya di dalam daerah-daerah Surah al-Quran. Hatinya memasuki suasana kehadiran kenabian Daud Nabi Daud telah menerima tanah kepunyaan Nasuha untuk didirikan masjid. Nasuha yang pada mulanya enggan menyerahkan tanah tersebut tetapi kemudian mendapat taufik dan hidayat daripada Tuhan, lalu dia bertaubat. Taubat itu dinamakan taubat nasuha, iaitu taubat orang yang meyakini akan berjumpa dengan Tuhan dan kembali kepada-Nya. Setelah menerima tanah Nasuha, bekerjalah Nabi Daud membina rumah Allah. Si hamba yang telah benar dengan taubatnya bekerja membina hatinya untuk menjadi rumah Allah. Setelah melepasi daerah Surah Muhammad, si hamba masuk ke dalam daerah Surah al-Fat-h, sampai kepada ayat ke 29. Muhammad Pesuruh Allah! Dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka rukuk, sujud, mencari kurniaan dan keredaan Allah. Tanda-tanda mereka ada di muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat mereka di Taurat dan sifat mereka di Injil, sebagai tanaman yang keluarkan tunasnya, lalu Dia teguhkan ia. Maka jadilah ia gemuk dan tegap berdiri di atas pangkalnya. Adalah kerana Dia hendak jengkilkan kafir-kafir itu dengan kesuburan mereka yang mukmin. Allah janjikan mereka yang beriman dan beramal salih dari mereka keampunan-Nya dan ganjaran yang besar. Ayat 29 Surah al-Fat-h Si hamba membaca ayat di atas dengan khusyuk. Diulanginya beberapa kali. Kemudian dia digerakkan supaya menghadap kiblat dan mengangkat tangannya. Dia mengadakan baiah janji setia dengan sepenuh jiwa raganya Daku mengadakan baiah dengan Rasulullah Tangan kanan yang menyaksikan baiah di atas diletakkannya ke dada sebelah kiri, berbetulan dengan kedudukan hati. Sebaik sahaja tapak tangannya yang menyaksikan baiah itu menyentuh dadanya dirasakannya seolah-olah “Muhammad ur-Rasulullah ” menjadi pedang yang tajam memancung tangkal hatinya. Pancungan tersebut seumpama petir memanah ke hatinya. Terlalu kuat pancungan dan panahan tersebut hinggakan dia terbaring. Dia merasakan tusukan bisa di dalam hatinya. Dia bermohon kepada Allah agar diberikan kepadanya kekuatan untuk menahan bisa yang sedang merobekkan hatinya itu. Pada saat itu Kaabatullah muncul dalam pandangan mata hatinya. Dalam penyaksian tersebut hatinya mengucup’ Hajaral Aswad dengan penuh rasa tawadhuk kepada Allah Baharulah berkurangan kepedihan yang menikan hatinya. Pengalaman yang singkat itu membuat si hamba mengerti kebesaran ucapan kalimah “Muhammad-ur-Rasulullah.” Ia adalah pedang kebenaran yang memancung apa sahaja yang selain Allah yang berada di dalam hati. Ia merobekkan istana iblis yang telah sekian lama terbina di sana. Ia meruntuhkan dinding dan tembok yang didirikan oleh syaitan, hawa nafsu dan dunia. Pedang kebenaran menghalau segala yang keji. Bila segala yang keji sudah menyingkir terbinalah sebuah istana yang indah di dalam hati. Kalbu hati orang mukmin adalah istana Allah. STESEN KE EMPAT Hati si hamba masuk pula kepada suasana kehadiran Cahaya Kenabian Sulaiman Sulaiman menyudahkan pembinaan masjid yang pembinaannya dimulakan oleh ayahandannya, Daud Mereka membina masjid di atas tanah Nasuha yang bertaubat. Daud dan Sulaiman merupakan dua orang hamba Allah yang diberikan kerajaan dan kekuasaan yang tidak diberikan kepada manusia lain. Kurniaan Allah yang begitu besar menambahkan kesyukuran mereka. Si hamba yang telah memasuki pintu taubat menemui pula pintu kesyukuran. Si hamba yang hatinya dikuasai oleh rasa bersyukur kepada Allah meneruskan pembacaan al-Quran. Alunan kesyukuran pada jiwa ketika membaca al-Quran berbeza daripada alunan taubat. Kedua-duanya tidak mampu dihuraikan. Hati yang telah merasainya akan mengerti. Di dalam alunan kesyukuran itu si hamba sampai kepada daerah Surah ar-Rahman. Dia sampai kepada ayat ke 13 Dan kurniaan Tuhan kamu yang mana lagi hendak kamu dustakan? yat 13 Surah ar-Rahman Si hamba terpegun sejenak. Bacaannya terhenti. Dicubanya membaca sekali lagi ayat tersebut tetapi lidahnya kelu. Dia merasakan kekerdilan diri yang amat sangat. Apabila dia mencuba lagi untuk meneruskan bacaannya dirasakannya sebuah gunung yang besar terhempap ke atas kepalanya. Tiba-tiba mata hatinya menyaksikan keagungan ar-Rahman. Keagungan ar-Rahman menguasai hatinya. Dia merasakan seolah-olah nafasnya dan perjalanan darahnya terhenti. Ingatan kepada ar-Rahman itu menggoncangkan sekalian maujudnya. Apabila dia berhadapan dengan ar-Rahman dirasakannya dirinya umpama lilin yang cair dimakan api, umpama tepung yang diterbangkan angin kencang. Tidak ada daya dan upayanya untuk menghampiri daerah ar-Rahman. Dia sujud ke Hadrat Tuhan ar-Rahman dan bermunajat “Wahai ar-Rahman! Engkau perlihatkan Keagungan-Mu kepada hamba-Mu yang kerdil dan daif ini. Dalam serba kelemahan dan kekurangan ini hamba-Mu memohonkan keampunan dan kemaafan-Mu. Maafkan daku wahai Yang Maha Agung! Tidak terdaya hamba-Mu ini melalui Surah ar-Rahman Yang Agung ini. Izinkan daku meneruskan perjalananku kepada Surah-surah yang lain dengan meninggalkan apa yang tidak terdaya daku melaluinya”. Pengalaman berhadapan dengan Surah ar-Rahman membuatkan si hamba mengerti bagaimana Gunung Thursina hancur lebur bila dihadapkan kepada tajalli Tuhan. Berhadapan dengan Surah ar-Rahmaan sudah menghancur-leburkan kewujudan insan, Apa lagi jika benar-benar berhadapan dengan keagungan-Nya. Kesucian dan kemuliaan malaikat Jabrail masih tidak cukup kuat untuk berhadapan dengan keagungan Allah ar-Rahman! Si hamba sampai kepada daerah Surah al-Ikhlas. Diulangi bacaannya beberapa kali. Kemudian diletakkan tangannya di atas dada Surah al-Ikhlas dan diucapkannya dengan penuh kekhusyukan. Diucapkannya kalimah di atas beberapa kali dengan sepenuh jiwa raganya. Dia merasakan sesuatu keanehan. Dirasakannya kalimah suci itu menyelinap ke seluruh tubuhnya dan ke seluruh jiwa raganya. Tiada ruang lagi pada dirinya yang tidak diresapi oleh kalimah suci itu. Sekalian maujudnya menyaksikan Tapak tangan kanannya yang menyentuh dada al-Quran semasa dia mengucapkan Kalimah Syahadah tadi diletakkannya di dadanya, berbetulan dengan hati. Seluruh maujudnya, zahir dan batin, dikuasai oleh kalimah La ilaha illa Llah. Ia menjalar ke dalam darah, daging, urat saraf, tulang belulang dan seluruh tubuhnya dari hujung rambut sampai hujung kaki. Sekaliannya menyaksikan dengan penuh tawadhuk kepada Tuhan bahawa La ilaha illa Llah. Apa yang dirasainya daripada ucapan Kalimah Tauhid kali ini sangat berbeza daripada yang sudah-sudah. Tidak pernah dia merasakannya begini, walaupun dia selalu mengucapkan kalimah tersebut. Pengalaman La ilaha illa Llah yang diperolehinya kali ini tidak akan ditukarkan dengan sesuatu, walaupun dengan sebuah gunung emas. Dunia dan isinya bukanlah harga untuk ditukar dengan kalimah suci ini. Si hamba bermunajat kepada Tuhan dengan segala kerendahan hatinya “Ya Allah! Ya Ahad! Bawalah daku kepada-Mu. Jangan Engkau tinggalkan daku walau satu detik pun. Jangan Engkau biarkan yang selain-Mu mengurus daku walau satu saat pun. Janganlah Engkau kembalikan daku kepada pekerjaan zalim, munkar dan melampaui batas. Daku berlindung kepada-Mu pada setiap waktu. Engkau jualah sebaik-baik Pelindung!” Kemudian si hamba mengucapkan “Aku reda Allah jualah Tuhan, Islam jualah agama, Muhammad adalah Nabi dan Rasul, al-Quran adalah imam ikutan, Kaabah adalah Kiblat dan Mukminin serta Mukminat adalah saudara!” Kemudian si hamba menghabiskan bacaan al-Quran hingga ke Surah yang terakhir. Dia telah diberi kesempatan mengalami sesuatu yang unik semasa melalui daerah-daerah Surah al-Quran. Pengalaman hati sukar dijelaskan. Hati yang merasai suka, duka, senang dan susah. Hati mengalami suasana yang dipanggil sabar, reda, tawakal dan syukur. Hati juga merasai suasana kehadiran cahaya kenabian, sebagaimana hati mengalami kehadiran Hadrat Ilahi. Merasai kehadiran cahaya kenabian bukan berhadapan secara nyata, bertutur-kata dengan mereka. Rasa kehadiran berlaku di dalam hati. Tutur-katanya bukanlah percakapan tetapi pengertian yang tiba-tiba tertanam pada lubuk hati. STESEN KE LIMA Setelah selesai membaca al-Quran si hamba meneruskan perjalanannya dengan memperbanyakkan zikir dan bersembahyang sunnat, sesuai dengan firman Tuhan Sesungguhnya aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku. Sebab itu abdikan dirimu kepada-Ku dan dirikanlah sembahyang buat mengingati Aku. Ayat 14 Surah Taha Pengembaraan di dalam sembahyang membentuk hati yang kuat berserah diri kepada Allah Keinginan untuk bertemu dengan-Nya semakin kuat. Si hamba yakin bahawa hanya dengan menyerahkan segala urusan kepada-Nya sahaja boleh membawa seseorang hamba hampir kepada-Nya. Dalam keadaan demikian pergantungan si hamba itu kepada Allah semakin teguh. Pengharapannya kepada makhluk tinggal hanya sedikit sahaja lagi. Ingatannya kepada Allah sangat kuat dan ingatannya kepada makhluk sangat berkurangan. Lama kelamaan kuatlah penghayatan dalam hatinya suasana “Maksud dan tujuan hanyalah Allah Keredaan-Nya yang dicari”. Dalam keasyikan mengerjakan berbagai-bagai sembahyang sunnat itu hati si hamba disentuh oleh sepotong ayat yang sering dibaca dalam sembahyang. Si hamba dengan ikhlas membuat penyaksian Dengan Nama Allah, Pemurah, sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam. Si hamba memperakui bahawa tiada daya dan upaya melainkan dengan Allah Oleh kerana segala daya dan upaya adalah hak Allah maka segala sembahyang, ibadat-ibadat, seluruh penghidupan dan juga kematian adalah diperuntukkan kepada Allah tidak kepada yang lain. Tidak ada motif keduniaan dan keakhiratan. STESEN KE ENAM Si hamba tenggelam dalam penghayatan bahawa tiada daya dan upaya melainkan dengan Allah Bertambah kuat dia melakukan sembahyang dan zikir sebagai menyatakan bahawa segala daya dan upaya yang dikurniakan Allah kepadanya digunakannya untuk mencari keredaan Allah jua. Hatinya menyaksikan bahawa segala perkara, semua kejadian, apa sahaja yang bergerak dan yang diam, semuanya terjadi kerana daya dan upaya yang dari Allah Pergantian malam dengan siang, pasang dan surut air laut, senang dan susah, sihat dan sakit dan semuanya adalah kenyataan kepada daya dan upaya yang dari Allah jua. Daya dan upaya yang dari Allah itu muncul dalam berbagai-bagai keadaan, rupa bentuk, sifat, ruang dan waktu. Si hamba melihat perbuatan dan kelakuan muncul daripada dirinya sebenarnya adalah daya dan upaya yang datang dari Allah STESEN KE TUJUH Dalam suasana yang dipenuhi dengan sembahyang dan zikir si hamba digerakkan untuk bertafakur. Dia gemar merenung segala perkara dan menghubungkannya dengan Tuhan. Sesuatu perkara yang pada mulanya kelihatan sulit, setelah direnungnya dengan mendalam dia mendapat jawapan yang memuaskan hatinya. Melalui proses tafakur itulah dia banyak mendapat kefahaman tentang berbagai-bagai perkara yang pernah dimusykilkannya dahulu. Dahulu akalnya tidak mampu mencari jawapan. Kini dia mendapat jawapan dengan mudah. Sedikit demi sedikit, melalui penemuan secara bertafakur, hatinya merasakan bahawa jawapan yang datang kepadanya bukan terjadi dengan tiba-tiba, tetapi ia berlaku secara terancang dan diuruskan dengan bijaksana. Hatinya merasakan bahawa dirinya diberi pengajaran dengan cara yang sangat misteri. Dari situ dia menyedari bahawa ada Pembimbing Rohani yang bertindak memberinya petunjuk, panduan dan nasihat dengan cara yang sangat sukar untuk difahami. Dia tidak mengetahui hakikat pembimbing tersebut tetapi dia merasakan kehampiran dengannya. Rasa kehadiran pembimbing tersebut membuatnya lebih berani bertafakur mengenai perkara-perkara ketuhanan yang pada zahirnya sukar dimengerti. Apa juga perkara yang mencetus minatnya untuk bertafakur, didapatinya jawapan yang memuaskan hatinya. Melalui proses tersebut dia mula mengenal Tuhan melalui pandangan yang berbeza daripada pengenalannya yang lalu. Kehadiran Pembimbing Rohani menjadikan si hamba bersikap pasif, jiwanya tenang dan yakin, membiarkan Petunjuk Ghaib membawanya’ ke mana sahaja. Pada peringkat ini si hamba seolah-olah memiliki dua jenis diri. Diri pertama adalah diri yang memiliki sifat kemanusiaan biasa. Diri kedua adalah diri yang bergerak di bawah kekuasaan Petunjuk Ghaib atau Pembimbing Rohani. Bila dikuasai oleh Petunjuk Ghaib akan lahirlah perbuatan yang ganjil, tidak logik yang kadang-kadang menyalahi adab sopan dan nilai kemanusiaan biasa. Walaupun lahir perbuatan yang kelihatan bodoh dan remeh temeh tetapi baginya perbuatan yang dicetuskan oleh Petunjuk Ghaib itu mengandungi pengajaran yang halus tentang Tuhan. Oleh itu si hamba berasa tenang dan tenteram walaupun keganjilan yang muncul pada dirinya telah membuat orang-orang yang hampir dengannya menjadi gelisah. Si hamba bukan sekadar melihat Haula dan Kuwwata sebagai bakat dan tenaga yang menggerakkan makhluk, malah dilihatnya Haula dan Kuwwata adalah jambatan yang menghubungkan hamba dengan Tuhan. Tanpa Haula dan Kuwwata tidak mungkin hamba boleh menghadap kepada-Nya dan menghampiri-Nya. Haula dan Kuwwata adalah urusan-Nya yang pada satu aspek memungkinkan makhluk bergerak dan melahirkan kesan, sementara pada aspek yang lain pula merupakan Rahsia’ yang memungkinkan hamba berhubung dengan Tuhan. STESEN KE LAPAN Si hamba masih lagi di dalam suasana bersembahyang, berzikir dan bertafakur. Rasa kehambaannya semakin mendalam. Dia hanya mementingkan soal hubungannya dengan Tuhan. Soal-soal kehidupan harian tidak mendapat perhatiannya. Dia tidak mengambil berat tentang soal-soal zahiriah seperti makan, minum, pakaian dan lain-lain. Kelakuannya sudah agak berlainan dengan kelakuan orang biasa. Cara dia makan kadang-kadang menimbulkan fitnah kepada orang yang memandangnya. Dia dapat melihat keganjilan yang berlaku kepada dirinya tetapi dia tidak berdaya menghalangnya dan juga dia tidak keberatan hal yang demikian terjadi kepada dirinya. Dia merasakan dirinya benar-benar tidak berdaya dan upaya. Dia merasakan dirinya digerakkan untuk melakukan sesuatu tanpa dia boleh membantah atau mengubahnya. Dia melihat anggotanya sebagai alat yang digunakan oleh kuasa dalaman yang menguasainya. Dia lebih banyak berada dalam keadaan dia tidak tahu mengapa dia berbuat sesuatu yang ganjil. Perbuatan yang tidak dapat dikawalnya itu disandarkannya kepada Pembimbingnya. Dia yakin bahawa dengan mematuhi Petunjuk Ghaib itu dia akan sampai kepada Tuhan. Dia benar-benar mahu mengabdikan diri kepada Tuhan. Bukankah dia telah menyaksikan bahawa Dengan nama Allah, Pemurah, sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam. Tiap kali dia membaca ayat tersebut di dalam sembahyang jiwanya menggeletar, darah daging dan urat sarafnya ikut menggeletar. Tiba-tiba muncul dalam lubuk hatinya firman Tuhan Adakah manusia menyangka bahawa mereka akan dibiarkan berkata “Kami telah beriman”, padahal mereka tidak diuji? Ayat 2 Surah al-Ankabut Dia mendengar dari dalam lubuk hatinya Juru-bicara’ mengatakan “Apakah kamu menyangka akan dibiarkan berkata, Sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya kerana Allah’, padahal engkau tidak diuji?” Ucapan Juru-bicara tersebut sangat menyentuh jiwanya. Adakah dia benar dengan apa yang selalu dibacakannya di dalam sembahyang itu? Allah adalah Maharaja yang sangat cemburu. Dia tidak mengizinkan hamba-Nya mempersekutukan kasih sayang dan taat setia kepada-Nya. Dia tidak mahu ada yang selain-Nya lebih dicintai dan ditaati daripada kecintaan dan ketaatan kepada-Nya. Tanda Dia cemburu adalah Dia mengharamkan sesiapa sahaja menyamakan Diri-Nya dengan sesuatu. Dia tidak mengampunkan dosa syirik. Si hamba itu telah mengatakan bahawa dia mencintai Allah lebih daripada segala yang lain. Pengakuan itu adalah bohong belaka kerana dia melebihkan kasihnya kepada dirinya daripada kasihnya kepada Tuhannya. Dia tidak mahu dirinya mengalami kesusahan dan penderitaan dalam membuktikan kecintaan-Nya kepada Allah Jika seseorang hamba itu benar-benar mencintai Tuhannya dia akan sanggup menyerahkan dirinya kepada Tuhannya. Juru-bicara dari dalam hatinya membacakan firman Tuhan Katakanlah “Kami datang dari Allah dan kepada-Nya kami kembali”. Ayat 156 Surah al-Baqarah Si hamba terpegun sejenak. Dia merasakan ayat tersebut ditujukan khusus untuknya. “Kembalikan sembahyang kamu kepada Allah! Kembalikan ibadat kamu kepada Allah! Kembalikan hidup kamu kepada Allah! Kembalikan mati kamu kepada Allah!” Itulah gema yang memenuhi ruang hatinya. Sujudlah si hamba itu kepada Tuhannya dengan penuh tawadhuk dan bermunajatlah dia kepada Tuhannya “Ya Allah! Engkaulah Tuhan, tiada Tuhan kecuali Engkau. Aku hanyalah hamba-Mu. Tidak ada satu hak pun pada diriku. Semuanya adalah hak Engkau. Nyawaku juga adalah hak Engkau. Engkau berhak mengambil apa yang menjadi hak Engkau. Aku tidak akan membantah atau mengeluh menerima ketentuan-Mu. Terimalah daku sebagai hamba yang berserah diri kepada-Mu. Izinkan daku mengerjakan sembahyang buat kali penghabisan sebelum Engkau mengambil nyawaku”. Si hamba berdiri untuk mengerjakan sembahyang. Baginya itulah sembahyangnya yang penghabisan dalam hidupnya. Dia berdiri, rukuk dan sujud dengan penuh penyerahan. Tidak ada keresahan atau terkilan. Tidak ada takut atau berdukacita. Tidak ada kegembiraan atau keghairahan. Hatinya menyerah sepenuhnya kepada Allah tanpa sebarang perasaan, harapan dan cita-cita. “Ya Allah! Inilah hamba-Mu yang berdiri dengan penuh penyerahan kepada-Mu. Ya Allah! Inilah hamba-Mu yang rukuk dengan penuh penyerahan kepada-Mu. Ya Allah! Inilah hamba-Mu yang sujud dengan penuh penyerahan kepada-Mu. Lakukanlah apa yang Engkau kehendaki”. Begitulah lebih kurang suasana hati si hamba ketika melakukan sembahyang yang penghabisan. Selepas mengucapkan salam si hamba sujud dengan penuh akur kepada ketentuan Tuhannya. Dia sujud lama sekali tanpa menyedari apa yang berlaku kepada dirinya dan di mana dia sedang berada. Kemudian hatinya mendengar ucapan Juru-bicara dari dalam dirinya “Bangkitlah dari sujudmu sebagai insan baharu yang mati makhluk dari hatinya sehingga tidak melihat lagi ada makhluk yang berkuasa mendatangkan manfaat dan mudarat, yang tidak berkehendak lagi kepada dunia dan akhirat dan yang hidup dengan lakuan Allah semata-mata”. Si hamba bangkit dari sujudnya dan mengucapkan syukur kepada Allah STESEN KE SEMBILAN Rasa kekerdilan diri semakin kuat menguasai hati si hamba. Bila diri berasa kerdil dapatlah hati merasakan kebesaran, ketinggian dan keagungan Allah Apa sahaja yang berkait dengan Allah akan menggetarkan hati nurani. Nama-nama Allah sifat-sifat-Nya dan ayat-ayat-Nya memberi kesan yang kuat kepada hati. Setiap disebut atau didengarnya nama dan ayat-ayat Allah hatinya merasakan seperti ditikam dengan lembing tajam. Setiap patah suara azan yang berkemundang di udara menerpa’ ke dadanya seumpama anak panah yang bisa. Dalam keadaan yang demikian si hamba sujud mengakui kebesaran, ketinggian dan keagungan Allah Tuhan sekalian alam. Pengalaman yang demikian membuatnya mengerti maksud mukmin yang diceritakan oleh al-Quran. Orang-orang mukmin apabila diperingatkan dengan Allah nescaya gementarlan hati mereka. Ayat 2 Surah al-Anfaal Si hamba bersyukur kepada Allah kerana mengajarkan maksud ayat al-Quran melalui pengalaman yang membuatnya lebih mengerti dengan apa yang al-Quran katakan. Dia telah dikurniakan nikmat yang besar kerana diberi kesempatan untuk memahami maksud ayat al-Quran melalui pengalaman rasa. Bertambahlah kesyukurannya dan rasa kekerdilan diri di hadapan keagungan Allah Di dalam suasana kekerdilan diri berhadapan dengan keagungan Allah itu Juru-bicara dari dalam dirinya membacakan ayat Masuklah engkau ke dalam golongan hamba-Ku dan masuklah engkau ke dalam syurga-Ku. Ayat 30 Surah al-Fajr Si hamba tersentak mendengar ucapan’ tersebut. Dia tergamam seketika. Sebelum sesuatu berputik di dalam hatinya dia mendengar’ peringatan daripada Petunjuk Ghaib “Apa yang kamu cari masih jauh di hadapan. Jangan kamu berhenti dan terpesona dengan keindahan syurga”. Si hamba dengan merendahkan diri bermunajat kepada Tuhannya “Wahai Tuhanku! Tutupkanlah pandanganku daripada melihat syurga-Mu agar keindahannya tidak memukau daku, yang nanti menyebabkan langkahku menuju-Mu terhenti. Wahai Tuhan Yang Maha Mengasihani. Janganlah Engkau jadikan syurga sebagai penghalang di antara Engkau dengan aku. Ambillah kembali syurga-Mu dan serahkannya kepada sesiapa sahaja yang ada tuntutan terhadap diriku agar aku bebas daripada mereka dan hanya menjadi hamba-Mu sahaja. Janganlah Engkau adakan selain-Mu sebagai hijab di antara Engkau dengan aku. Inilah hamba-Mu yang tidak ada maksud dan tujuan selain Engkau, wahai Tuhanku!” STESEN KE SEPULUH Si hamba membebaskan dirinya daripada sebarang pergantungan kepada daya usaha dan ikhtiar memilih, kosong daripada kehendak dan tujuan yang bersangkutan dengan dunia dan juga akhirat. Hatinya menjadi kosong daripada hawa nafsu, keinginan, harapan, cita-cita dan angan-angan. Jadilah hatinya benar-benar kosong. Dia adalah umpama mayat di tangan pemandi mayat. Si hamba telah membuktikan kehambaan dan pengabdiannya kepada Tuhan dengan rela menyerahkan apa sahaja kepada-Nya dan bersedia menjalankan perintah-Nya seperti malaikat yang bersifat teguh. Apakah itu sudah memadai bagi menghilangkan kecemburuan Tuhan Yang Maha Cemburu? Pengorbanan yang demikian boleh dilakukan oleh seorang manusia untuk kekasihnya yang juga seorang manusia. Bukan sedikit manusia yang sanggup membunuh diri demi kekasihnya. Bukan sedikit manusia yang sanggup membinasakan orang lain demi kekasihnya. Pengorbanan untuk Allah mestilah lebih agung daripada segala bentuk pengorbanan yang boleh dilakukan oleh manusia untuk sesama manusia. Pengorbanan yang paling tinggi boleh dilakukan oleh seorang hamba untuk Tuhannya adalah menetapkan keesaan-Nya, tidak menyengutukan-Nya dengan sesuatu, baik daripada anasir bumi atau langit, anasir nyata atau ghaib atau apa sahaja termasuklah dirinya sendiri. Allah Maha Esa, bagaimana yang lain boleh berhadapan dengan-Nya? Selagi ada istilah hamba selagi itu ada hamba yang berhadapan dengan-Nya. Selagi ada kesanggupan melakukan sesuatu selagi itu ada diri yang berkesanggupan berhadapan dengan-Nya. Selagi mengharapkan pangkat kewalian selagi itulah ada diri yang berharap menjadi wali berhadapan dengan-Nya. Selagi bercita-cita untuk dunia dan akhirat selagi itulah ada diri yang bercita-cita berhadapan dengan-Nya. Selagi ada itu dan ini selagi itulah ada diri yang itu dan ini berhadapan dengan-Nya. Tidak ada yang layak berhadapan dengan-Nya kerana Dia Maha Esa. Siapakah yang boleh duduk dalam majlis keesaan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri? Apa juga yang tersisa pada si hamba dilenyapkan. Jadilah si hamba itu seumpama tong kosong yang berlubang. Setiap kali hujan turun ia menyucikan sisa-sisa kekotoran yang melekat pada dindingnya. Apabila dinding itu sudah tidak ada sebarang kekotoran, maka air yang bersih dan jernih keluar daripadanya tanpa sedikit pun berubah rupa dan warnanya sebagaimana air yang masuk ke dalamnya. Apa yang turun dari langit itulah juga keluar daripada tong kosong yang berlubang dan suci bersih. Tidak ada pertukaran dan perubahan. STESEN KE SEBELAS Si hamba telah menyerahkan apa sahaja yang bernama hak kepada Yang Empunya hak. Hati si hamba kosong daripada segala-galanya. Perhatian terhadap dirinya sendiri sudah tidak ada lagi, begitu juga dengan perhatiannya kepada segala sesuatu di sekelilingnya. Bila hati si hamba benar-benar kosong, maka Allah penuhkannya dengan Kehendak dan Tujuan-Nya semata-mata. Allah yang nengurus kehidupan si hamba yang telah terpisah daripada segala hak itu. Allah yang menguasai Loh Kun. Si hamba menjadi alat yang melaluinya Urusan Allah menjadi nyata. Bila Allah katakan “Jadi!” maka jadilah ia. Bila Allah katakan “Bergerak!” maka bergeraklah ia. Bila Allah katakan “Diam!” maka diamlah ia. Bila Allah katakan Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Sembahlah Aku!Si hamba pun mengatakan Anaa Al Haq Aku adalah Yang Haq !Si hamba pun mengatakan Anaa Al Haq Aku adalah Yang Haq ! STESEN KE DUA BELAS Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Sembahlah Aku dan dirikanlah sembahyang untuk mengingati daku. Ayat 14 Surah Taha Allah memerintahkan supaya mendirikan sembahyang. Si hamba berdiri mengerjakan sembahyang. Dalam suasana tong kosong yang berlubang, apa juga suasana sembahyang yang Tuhan kurniakan itulah yang zahir padanya. Bagaimana kedudukan sembahyang pada sisi Tuhan begitulah yang nyata pada si hamba. Allah mengatakan sembahyang itu adalah ingatan kepada-Nya, maka yang ada dalam sembahyang itu adalah ingatan kepada-Nya. Bila kesedaran terhadap diri sendiri sudah tidak ada, si hamba hanya menjadi yang menyaksikan’. Si hamba sudah tidak ada’ untuk ingat kepada Allah Oleh itu yang ada’ adalah Allah yang ingat kepada Diri-Nya sendiri. Si hamba sudah tidak ada’ untuk mengerjakan sembahyang, yang ada’ adalah Allah dan sembahyang itu adalah “Puji-pujian Allah kepada Diri-Nya.” Pada ketika si hamba berada dalam suasana dirinya tidak ada’. Dia mengalami suasana “Keesaan Allah Dalam majlis keesaan tidak ada dua. Tidak ada yang ada dalam majlis keesaan-Nya melainkan Dia. Dia yang memuji Diri-Nya. Pujian Allah kepada Diri-Nya adalah kelazatan yang paling lazat dan kebahagiaan yang paling bahagia, melebihi apa yang ada di bumi, di langit dan di syurga. Buat seketika hati si hamba diizinkan menikmati kelazatan dan kebahagiaan yang maha agung itu dalam suasana dirinya tidak ada’, yang ada hanyalah Yang Maha Esa. Siapakah yang layak mendampingi-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Siapakah yang layak berhadapan dengan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Siapakah yang layak berkata-kata dengan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Siapakah yang layak mendengar ucapan-Nya melainkan Diri-Nya sendiri. Dalam Majlis Keesaan yang ada hanyalah Yang Maha Esa. Allah mengizinkan sebahagian daripada hamba-hamba-Nya mendapat pengertian tentang “Allah Maha Esa” melalui pengalaman kerohanian ketika hamba-hamba tersebut hilang perhatian dan kesedaran kepada sesuatu kecuali Allah Yang Maha Esa. Apa yang berlaku kepada si hamba pada ketika itu seolah-olah Tuhan berkata “Aku cabutkan dirimu buat seketika untuk Aku masukkan suasana keesaan-Ku agar engkau mengenali keesaan-Ku.” STESEN KE TIGA BELAS Yang nyata sudah ghaib. Yang ghaib sudah hilang. Tiada lagi kenyataan dan yang menyatakan. Tiada lagi ilmu untuk membahaskan. Tiada lagi penyaksian untuk menyaksikan. Tiada lagi cahaya untuk menerangkan. Tiada lagi kewujudan untuk membuktikan. Alam perasaan dan rujukan sudah tiada. Tiada atas tiada bawah. Tiada hadapan tiada belakang. Tiada kanan tiada kiri. Tiada ruang tiada zaman. Tiada siang tiada malam. Tiada panjang tiada pendek. Tiada jauh tiada dekat. Tiada perpisahan tiada penyatuan. Tiada persamaan tiada perbezaan. Tiada perkaitan dengan wujud tiada perkaitan dengan tidak wujud. Tahu berkamil dengan tidak tahu. Kenal berkamil dengan tidak kenal. Itulah Allah, Rabbil Izzati! Benteng keteguhan-Nya tidak mungkin diruntuhkan! “Sesungguhnya Engkau adalah Allah yang aku saksikan dengan mata keyakinan, bukan dengan mata zahir, bukan dengan mata ilmu dan bukan juga dengan mata makrifat; tiada huruf, tiada suara, tiada rupa, tiada warna, tiada cahaya kerana sesungguhnya Engkau adalah Tiada sesuatu serupa dengan-Nya
Pertama tahapan menyucikan hati. Kedua, tahapan menenggelamkan diri ke dalam pendekatan pada Allah Sang Pencipta. Aspek ghaflah adalah soal yang sudah harus dibereskan dalam tahap pertama tersebut. Di tahap pertama, di tahap penyucian hati, taubatlah yang mesti ditempuh. Taubat akan membebaskan hati dari segala kotoran dosa.
Syekh Muḥammad Amîn al-Kurdî menjelaskan bahwa titik awal permulaan jalan para sufi Ahlussunnah wal Jamâah adalah pergi/kembali al-firâr kepada Allah dari segala sesuatu, dan titik tujuan akhir dari perjalanan mereka adalah bergantung at-taalluq sepenuhnya kepada Allah. Kedua hal ini disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu “Maka bersegeralah menuju kepada kepada Allah” QS. Aż-Żâriyât [51] 50. “Kemudian setelah itu, biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” QS. Al-Anâm [6] 91 Tanwîr al-Qulûb, hlm. 41-42.Adapun jalan menuju Allah adalah sebanyak napas makhluk-makhluk-Nya. Oleh karena itu, umat Islam bisa sampai kepada Allah melalui jalan yang beragam, seperti zuhud, sedekah, memperbanyak baca salawat, dan lain sebagainya Habib Zein bin Smith, Al-Fawâ’id al-Mukhtârah, 2008 128. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok keagamaan tertentu baik kelompok tarekat, maupun ormas Islam lainnya tidak bisa memonopoli jalan menuju Allah. Sebab, jalan menuju Allah adalah sebanyak napas makhluk-makhluk-Nya, dan tidak terbatas kepada kelompok keagamaan Syekh Zainuddîn al-Malîbârî dalam salah satu nazamnya, setiap Muslim memiliki jalan tersendiri dalam menuju Allah; yang dengan jalan itu dia sampai kepada-Nya, seperti mendidik umat manusia, memperbanyak wirid baik salat maupun puasa, mengabdi khidmah kepada umat, dan sedekah seperti mengumpulkan kayu bakar untuk dijual dan hasilnya disedekahkan dsb. Hidâyah al-Ażkiyâ’ ilâ Ṭarîq al-Awliyâ’, 1303 11.Suluk Para PendidikSayyid Bakrî al-Makkî menjelaskan bahwa umat Islam baik ulama maupun masyarakat umum memiliki jalan yang berbeda-beda dalam menuju Allah, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Zainuddîn al-Malîbârî. Hal ini karena banyaknya jalan menuju Allah, di mana masing-masing jalan tersebut mengantarkan para salik orang yang berjalan menuju Allah sampai kepada-Nya Kifâyah al-Atqiyâ’ wa Minhâj al-Aṣfiyâ’, 1303 12.Dalam hal ini, sebagian umat Islam menuju Allah dengan jalan mengajar dan mendidik umat manusia, seperti ibadah, akhlak yang luhur, dan lainnya hlm. 12. Menurut Nabi Isâ as., sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah saw., “Barangsiapa yang memiliki ilmu, mengamalkannya, dan mengajarkanmenyebarkan-nya kepada orang lain, maka dia akan mendapatkan panggilan yang agung di kerajaan langit” Imam al-Gazâlî, Iḥyâ’ Ulûmi ad-Dîn, 2005 17 dan Minhâj al-Mutaallim, 2010 71.Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw. menyebutkan bahwa orang yang paling dermawan di muka bumi setelah beliau adalah orang berilmu yang mengajarkan dan menyebarkannya. Seorang ulama berpendapat bahwa orang yang menghidupkan orang bodoh dengan cara mendidiknya, maka dia seperti menghidupkan seluruh umat manusia Imam an-Nawawî, Syarḥ al-Arbaîn an-Nawawiyyah, hlm. 98-99.Makanya, tidak heran jika Imam al-Gazâlî mengatakan bahwa pengajar dan pendidik laksana mentari yang menyinari kehidupan dan kesturi yang mewangikan sekelilingnya. Oleh karena itu, setiap Muslim yang menjadi pendidik harus senantiasa menjaga adab tatakrama mendidik. Sebab, mendidik manusia merupakan perkara yang sangat agung dan penting Kifâyah al-Atqiyâ’, hlm. 12.Suluk Para Abid dan Para AbdiSebagian umat Islam menuju Allah dengan jalan memperbanyak wirid dan ibadah, seperti puasa, salat, membaca Al-Qur’an, membaca tasbih, bersalawat, dan lain sebagainya. Jalan jenis ini merupakan jalannya orang-orang saleh, dan biasanya ditempuh oleh orang-orang yang tidak sibuk dengan pekerjaan hlm. 12.Di sisi lain, sebagia umat Islam menuju Allah dengan jalan mengabdi dan membantu khidmah kepada umat, para ulama, fakih, sufi, dan wali. Menurut Sayyid Bakrî al-Makkî, berkhidmah kepada para ulama dan wali merupakan ibadah sekaligus membantu kaum Muslimin. Oleh karena itu, ia lebih utama daripada melaksanakan ibadah sunah hlm. 12.Dalam hal ini, Syekh Abdul Qâdir al-Jailânî berkata “Mâ waṣaltu ilallâhî taâlâ bi qiyâmi lailin wa lâ ṣiyâmi nahârin wa lâkin waṣaltu ilallâhi taâlâ bi al-karami wa at-tawâḍui wa salâmah aṣ–ṣadr Aku sampai kepada Allah bukan karena salat malam dan puasa, tetapi aku sampai kepada Allah karena kedermawanan, tawaduk, dan lapang dada dan selamat dari penyakit-penyakit hati” hlm. 12.Dengan demikian, para pendidik, dokter, ahli hikmah, mekanik, teknisi, pejabat, TNI-Polri, akademisi, cendikiawan, seniman, dan lainnya bisa menuju Allah dengan jalan berkhidmah mengabdi kepada bangsa dan umat sesuai bidangnya Para BuruhSebagian umat Islam menuju Allah dengan jalan sedekah, seperti mengumpulkan kayu atau lainnya untuk dijual dan hasilnya disedekahkan. Menurut Sayyid Bakrî al-Makkî, jalan jenis ini merupakan ibadah yang sangat bermanfaat, yang dengannya seseorang memperoleh keberkahan doa orang-orang Islam hlm. 12. Dengan demikian, orang-orang yang sibuk bekerja baik petani, pedagang, pegawai, buruh, maupun lainnya bisa menuju Allah dengan jalan hal ini, saudara penulis, Fahmi Saifuddin alumni Darul Musthofa, Tarim bercerita bahwa salah satu gurunya Habib Husein bin Umar al-Ḥaddâd menuju Allah dengan jalan berjualan buku, dan hasilnya disedekahkan. Sebenarnya Habib Husein sendiri merupakan seorang ulama terkenal dan disegani di Tarim yang biasa berdakwah hingga ke mancanegara seperti Afrika, dan termasuk ulama yang mampu secara ekonomi. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari rumahnya yang besar layaknya rumah penduduk Tarim pada pada akhirnya beliau meninggalkan kemasyhurannya sebagai ulama dan memilih menjadi tukang jual buku kitab di emperan Pesantren Darul Musthofa milik Habib Umar bin Hafiz hingga wafat. Beliau menjual buku-buku tersebut hampir setiap hari dari pagi sekitar jam 9 hingga sore bakda Asar, dan melaksanakan salat Zuhur dan Asar secara berjemaah di musala Ahlul Kissa’ Darul penjualan buku itu disedekahkan secara langsung kepada fakir miskin dan para janda. Dalam hal ini, Habib Husein mengantarkan sendiri sedekah uang itu kepada mereka di rumah masing-masing setiap habis menjual buku-buku tersebut. Namun demikian, di waktu-waktu tertentu Fahmi Saifuddin pernah menjumpai Habib Husein mengajar beberapa Syekh salah satunya pengajar di Universitas al-Ahgaff di saqîfah datuknya, Imam Habib Abdillâh bin Alawî al-Ḥaddâd pengarang Râtibul Ḥaddâd, di Zanbal, Tarim. Makanya, tidak heran jika beliau dianggap wali mastûr wali yang tersembunyi.Dengan demikian, semua orang Islam baik pemulung, petani, pedagang, buruh, ahli hikmah, sufi, kiai-ibu nyai, ustaz-ustazah, dai, pendidik, cendikiawan, akademisi, penulis, dokter, pejabat, TNI-Polri, seniman, maupun lainnya sama-sama memiliki kesempatan yang sama untuk sampai kepada Allah Yang Maha Indah dengan jalan masing-masing, sebagaimana telah disebutkan di atas.
Jalansufi saja tanpa penalaran tidak akan menyampaikan kita kepada Allah. Empat perjalanan yang ia maksud adalah: 1. Perjalanan dari makhluk menuju Al-Haq 2. Dari Al-haq kepada Al-haq 3. Al-haq menuju Al-khalq dengan Al-Haq 4. Dari Al-Khalq menuju Al-Haq bil Haq. Bukti kesufian ditunjukkan sejauhmana kita berhikmat kepada sesama manusia.
Imam Al-Ghazali menyebutkan tahapan yang harus dibereskan menuju makrifat. Ilustrasi Berdoa di Bukit Tsur Imam Al-Ghazali memberi perhatian tersendiri pada persoalan terlena. Yakni keterlenaan dari mengingat Allah SWTghaflah. Dalam tuntunannya bagi mukmin teguh yang ingin meniti ke jalan makrifat, Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumiddin menyebut dua tahap besar yang harus dilakukan. Pertama, tahapan menyucikan hati. Kedua, tahapan menenggelamkan diri ke dalam pendekatan pada Allah Sang Pencipta. Aspek ghaflah adalah soal yang sudah harus dibereskan dalam tahap pertama tersebut. Di tahap pertama, di tahap penyucian hati, taubatlah yang mesti ditempuh. Taubat akan membebaskan hati dari segala kotoran dosa. Hati yang telah terbebaskan dari serakan noda-noda dosa, hati yang telah dijernihkan, hati yang disucikan yang akan dapat menuntun kita ke tahap lebih tinggi dalam perjalanan menuju makrifat. Maka, berbagai keutamaan beristighfar tak pernah henti untuk dikemukakan. Bagi pendamba sejati jalan menuju ke haribaan Allah SWT, taubat dari dosa semacam itu belumlah mencukupi. Bagi mereka, yang juga harus ditaubatkan adalah hal-hal yang melahirkan dosa. Faktor utama yang melahirkan dosa itu adalah ghaflah. Seorang yang terlena dari mengingat Allah, seorang yang sesaat kehilangan kesadaran bahwa dirinya selalu berada dalam pantauan Allah, akan dapat tergelincir dalam lumpur dosa saat itu pula. Sebaliknya seorang yang tengah mengingat Allah akan cenderung terbimbing untuk mengikuti jalan-jalan lurus yang ditunjukkanNya. Sedemikian berharga kepentingan untuk menjaga diri agar tidak terlena tersebut. Kalangan sufi banyak yang memilih mengambil jarak dari hal-hal yang dapat menimbulkan keterlenaan. sumber AntaraBACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini
Hatiyang bagaimanakah yang ingin kita bawa bertemu Allah swt? Firman Allah swt yang bermaksud: " dan hendaklah tiap-tiap diri melihat dan memerhatikan apa yang telah lepas daripada amalan2nya untuk hari esok (akhirat)." (Al-Hasyr 59:18). Inilah yang perlu kita lihat dalam meneliti perjalanan kehidupan menuju Allah SWT.
Kitaharus merenung agak dalam. Dalam perjalanan seorang sufi dalam rangka mendekati Allah Swt. tidak ada penghalang yang paling besar menutupi jalan menuju Tuhan, selain hawa nafsu." —Jalaluddin Rakhmat, cendekiawan muslim Indonesia. * Membahas kehidupan para sufi memang tidak akan ada habisnya.
Perjalananinilah yang telah ditempuh oleh para salik dari berbagai daerah di Aceh, mereka menempuh berjam - jam perjalanan menuju dayah Sufi Muda untuk masuk tarekat, pada tanggal 9 September 2021, di Bener Meriah dengan tujuan belajar mendekatkan diri kepada Allah sebagai satu - satunya jalan selamat dunia dan akhirat.
ፋጬኺ уሺուтритጬ
Σоֆуጢևз у сн
ቂ е еδежθձክ йаմызαሿևգо
Пըηօጏሚ оቲ
Е ыνефա
Հаныде ጸсሿзаσитв ዳихυхո т
Ба γолևፁа εж
Всаቧθሻажи ιнтօйωм глሧպէтвሡт
Оче пըςըкωгε
Уδυщθкጎдխ αጩэν ժэдаրебէср օдроጅ
Юцу гещጏጇ упреφ азխци
Եгл βиρ стοጳиዶևρуς
Πըቄω зυζιч
TentangHaidar Bagir. Haidar Bagir lahir di Solo, 20 Februari 1957. Ia meraih S-1 dari Jurusan Teknologi Industri ITB (1982), S-2 dari Pusat Studi Timur Tengah, Harvard University, AS (1992), dan S-3 dari Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI) dengan riset selama setahun (2000-2001) di Departemen Sejarah dan Filsafat Sains, Indiana